Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Rupiah Sentuh Titik Terlemah dalam 20 Tahun Terakhir

Presiden: Pelemahan Rupiah Jangan Hambat Bisnis

Foto : Sumber: Bloomberg
A   A   A   Pengaturan Font

>>Depresiasi rupiah menambah tekanan pada BI untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

>>Kenaikan suku bunga dan pelemahan rupiah mendorong kenaikan NPL sektor properti.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta sejumlah menteri Kabinet Kerja dan Bank Indonesia (BI) untuk lebih detail menyusun siasat menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah.

Presiden ingin pelemahan rupiah tidak menjadi penghambat kegiatan bisnis dan investasi di dalam negeri. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, ketika tiba di kantornya usai melakukan rapat di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/9).

"Jangan sampai rupiah ini, nilai tukarnya membuat bisnis menjadi menjadi susah dijalankan dan investasi asing di portofolio mulai pada keluar, [pembahasan] lebih banyak ke arah itu," ujar Darmin.

Presiden menyampaikan hal itu menanggapi pelemahan rupiah belakangan ini hingga terus menyentuh rekor terlemah. Pada perdagangan di pasar spot, Senin, nilai tukar rupiah ditutup melemah 105 poin atau 0,71 persen ke level 14.815 rupiah per dollar AS.

Ini merupakan level terendah 20 tahun terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah terpantau melemah sejak pembukaan pasar, dengan depresiasi sebesar 35 poin atau 0,24 persen ke posisi 14.745 rupiah.

Lalu, koreksinya semakin dalam hingga sempat menyentuh level 14.822 rupiah saat menjelang penutupan perdagangan.

"Pelemahan rupiah terparah dibandingkan dengan mata uang emerging market lainnya karena posisi pembayaran eksternal Indonesia terlampau lemah, terutama karena defisit transaksi berjalannya.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu saat krisis terjadi di Asia dan kelayakan kredit eksternal rupiah yang terlalu lemah," ungkap Prakash Sakpal, ekonom ING Groep NV.

Laporan dari Bank of America Merrill Lynch juga menunjukkan bahwa aksi jual yang terjadi belakangan ini semakin menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

"Kondisi eksternal masih menjadi faktor utama pelemahan rupiah, seperti yang kami antisipasi.

Kami memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dengan besaran yang cukup untuk mengatasi masalah eksternal, bukan untuk masalah domestik," kata Mohamed Faiz Nagutha, ekonom Merrill Lynch.

Terkait dengan respons Presiden, Darmin menambahkan Presiden meminta menteri terkait dan BI lebih detail dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi pelemahan rupiah.

Aspek komunikasi pun harus diperbaiki. "Jangan sampai pemerintah sudah melakukan sesuatu, masyarakat bilang belum. Komunikasinya bagaimana, selain komunikasi pasti monitoring," imbuh dia.

Menurut dia, Kepala Negara juga meminta penjelasan terkait perkembangan berbagai cara pemerintah dalam menyelamatkan rupiah.

Itu termasuk pada kondisi devisa hasil ekspor (DHE), program biodiesel 20 (B20), peningkatan ekspor batu bara, kebijakan pembatasan impor, serta penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). "Satu per satu dididiskusikan," kata Darmin.

Kredit Properti

Sementara itu, sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah dan otoritas moneter mewaspadai potensi kredit macet properti, menyusul tren kenaikan suku bunga, pelemahan kurs rupiah, dan kelesuan ekonomi belakangan ini.

Sebab, dengan outstanding kredit properti yang kini mencapai hampir 900 triliun rupiah maka kredit macet sektor ini akan menimbulkan efek bola salju atau snowballing yang akan memukul sektor lain terutama perbankan.

Ekonom Universitas Indonesia, Telisa A Valianty, mengemukakan pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mesti mengontrol ketat kredit properti. S

ebab, sektor ini selalu berhubungan dengan spekulasi yang menyebabkan bubble properti, dan krisis ekonomi ketika gelembung harga pecah.

"Makanya harus lebih dipantau sektor propertinya. Kebijakan loan to value (LTV) dan persyaratan kredit lain mesti diperketat untuk mengontrol sektor properti yang cenderung bisa bubble itu," papar dia.

Penggelembungan harga (bubble) properti disebabkan maraknya spekulasi karena perbankan cenderung jor-joran mengucurkan kredit properti.

Hal ini sangat berisiko bagi perbankan karena ketika gelembung harga pecah dan memicu kredit macet maka bank tidak bisa menjual aset seperti nilai yang dijaminkan, karena harga riil aset sudah jatuh jauh di bawah harga jaminan yang sudah digelembungkan.

Akibatnya, bank akan menderita kerugian. Apabila kredit macet terjadi secara masif di perbankan maka akan memicu krisis keuangan, seperti yang terjadi pada krisis 1998. ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top