Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kontestasi Politik I Para Kandidat Pemimpin Diminta Beradu Gagasan dan Ide

Presiden Jokowi Ingatkan Capres Hindari Politik SARA

Foto : ANTARA /DHEMAS REVIYANTO

PRESIDEN JOKO WIDODO MEMBUKA MUNAS HIPMI I Presiden Joko Widodo membuka Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Munas Hipmi) XVII di Solo, Jawa Tengah, Senin (21/11). Munas yang berlangsung selama tiga hari tersebut beragendakan merumuskan program ke depan, laporan pertanggungjawaban pengurus Hipmi periode 2019-2022, dan memilih ketua baru Hipmi 2022-2025.

A   A   A   Pengaturan Font

» Dengan kondisi dunia yang sangat rentan, seharusnya semua menjaga agar politik kondusif dan tetap adem.

» Indonesia memerlukan pemimpin dengan kemampuan manajerial untuk hadapi tantangan geopolitik global yang lahir dari pentas gagasan.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan para bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk tidak melakukan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024.

"Debat silakan, debat gagasan, debat ide membawa negara ini lebih baik, silakan. Tapi jangan sampai panas. Apalagi membawa politik-politik SARA. Tidak, jangan. Politisasi agama, tidak, jangan," kata Presiden Jokowi dalam Musyawarah Nasional ke-17 Hipmi (himpunan pengusaha muda indonesia), di Surakarta, Jawa Tengah, Senin (21/11) seperti dikutip dari Antara.

Dalam pidatonya, Presiden berkali-kali menyerukan untuk tidak memanfaatkan isu agama dalam kontestasi politik. Bangsa Indonesia, kata Jokowi, pernah merasakan dampak buruk dari politisasi agama, maupun politisasi suku, ras atau golongan. Oleh karena itu, kata Jokowi, cara-cara berpolitik dengan memanfaatkan isu SARA harus dihindari.

"Lakukan politik-politik gagasan, politik-politik ide. Tapi jangan masuk ke politik SARA, politisasi agama, politik identitas, jangan," tegas Jokowi.

Politisasi SARA, jelas Kepala Negara, akan sangat berbahaya bagi negara yang memiliki kondisi keberagaman seperti Indonesia. Sebab itu, para capres dan cawapres untuk menjaga situasi politik agar tetap sejuk.

"Sekali lagi saya ingatkan kepada para capres dan cawapres, untuk membawa suasana politik kita menuju 2024 itu betul-betul paling banter hangat sedikit, syukur bisa adem," pinta Presiden.

Apalagi situasi dunia sedang tidak berjalan normal. Berbagai krisis mengancam situasi ekonomi dan sosial banyak negara, seperti krisis pangan, energi, dan finansial. Jika ancaman krisis ditambah dengan instabilitas politik dalam negeri, maka tingkat kerentanan akan meningkat.

"Saya titip dalam kondisi dunia yang sangat rentan seperti ini, kita harus semua menjaga agar kondusivitas, situasi politik itu tetap adem," kata Jokowi.

Saat ini, tambah Presiden, sudah 14 negara yang menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF) dan 28 negara lainnya sudah mengantre untuk menjadi pasien IMF.

"Diperkirakan sampai angka 66 (negara). Jadi, itu tak mendapatkan bantuan semuanya. Tak mungkin, karena juga keterbatasan dari IMF dan Bank Dunia punya keterbatasan," kata Kepala Negara.

Sanksi Sosial

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, mengatakan statement Presiden yang dilakukan berulang kali menunjukkan betapa politisasi agama sebagai problem serius di Indonesia. Penegasan Presiden harus direspons terutama oleh ormas berbasis agama terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk bisa merumuskan solusi utama.

"NU dan Muhammadiyah adalah ormas pengendali. Partai yang selama ini mengkomodifikasi agama untuk kepentingan dukungan politik harus sejak awal diingatkan. Jangan hanya imbauan moral, tantangannya adalah merumuskan sanksi sosial bagi para pelakunya," papar Arie.

UU ITE, menurut Arie, bukan solusi bagi politisasi agama yang kemudian melahirkan hate speech, hoax, dan sebagainya. Dalam jangka pendek, Indonesia memerlukan gerakan sosial pencegahan berupa edukasi, literasi, dan sanksi sosial yang dimotori oleh organ-organ besar.

"Sanksi sosial berupa delegitimitasi ketokohan yang terlibat dalam politisasi agama, ini yang perlu segera dikerjakan oleh ormas-ormas pengendali yang memiliki kekuatan besar di masyarakat. Organ besar itu harus menjadi motor sanksi sosial," jelas Arie.

Sementara itu, anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Benny Susetyo, mengatakan pengalaman dua kali pemilihan presiden dengan pembelahan sosial yang keras membuat luka yang sampai sekarang belum sembuh benar. Padahal ada tantangan besar mengadang di depan, yakni aneka krisis yang memerlukan pentas gagasan.

"Indonesia memerlukan pemimpin dengan kemampuan manajerial, tantangan geopolitik global yang benar-benar lahir dari pentas gagasan dan kerja, bukan lahir dari komodifikasi suku, agama, dan etnis," kata Benny.

Pernyataan Presiden, menurut Benny, mendorong pemilu di Indonesia memasuki politik gagasan untuk menjawab tantangan-tantangan besar dunia. Jangan sampai pilpres kembali membuang energi bangsa untuk perkara-perkara SARA seperti dua kali era pilpres sebelumnya.

Sementara itu, peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan peringatan presiden tentang politisasi SARA, lebih khusus lagi politisisasi agama itu tepat, strategis, dan momentumnya pas.

"Ini bisa menjadi warning dan juga menumbuhkan kewaspadaan agar kontestasi politik kita lebih bermartabat bisa lebih mengutamakan politik gagasan dan politik ide, bukan politik SARA yang bisa membelah masyarakat kita yang potensial menjerumuskan masyarakat ke dalam permusuhan dan perpecahan yang panjang," kata Surokim.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top