Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Ketahanan Energi I Indeks Ketahanan Energi Nasional Berada di Level 6,57

Porsi EBT dalam Bauran Energi Masih Rendah

Foto : Sumber: Keputusan Menteri ESDM No. 39K/20/MEM/2019
A   A   A   Pengaturan Font

» Satu-satunya cara memperbaiki indeks ketahanan energi adalah dengan meningkatkan bauran EBT.

» Kalau masih membangun akses ke energi fosil, sama saja melawan arus global yang ingin menekan emisi karbon.

JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan tingkat akses (accessibility) dan penerimaan (acceptability) energi di Indonesia masih sangat kurang. Hal tersebut menyebabkan indeks ketahanan energi nasional belum tergolong sangat tahan. Salah satu kendalanya karena masih rendahnya porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, mengatakan memang ada penguatan indeks ketahanan energi nasional dari tahun ke tahun. Saat ini, indeks ketahanan energi nasional berada di angka 6,57 atau masuk kondisi tahan (6 sampai dengan 7,99). Namun, angka itu menunjukan RI belum tergolong sangat tahan.

"Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan? Sebab, dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih sangat kurang meskipun pemerintah terus berupaya membangun infrastruktur gas, juga BBM (bahan bakar minyak) melalui program BBM satu harga, kita membangun SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) kecil di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal)," kata Djoko dalam Seminar Nasional bertajuk Sustaining Indonesia Energy Security and Accomplishing Net Zero Emission (NZE) Through Petroleum Engineering Technology and Education, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sedangkan untuk aspek acceptability sangat berkaitan dengan lingkungan. Pengembangan EBT di Indonesia pada 2020 baru 11,2 persen. Meskipun sudah meningkat dibandingkan 2015 sebesar 4 persen, namun masih terbilang kecil.

"Kita menuju 23 persen pada 2025 melalui business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai, dan pada 2050 mencapai 31 persen. Kemudian pada 2060, kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50 persen," jelas Djoko.

Pengukuran ketahanan energi sendiri menggunakan aspek 4A, yakni availability, affordability, accessibility, dan acceptability dan metode pembobotan menggunakan AHP (analytic hierarchy process). Aspek availability adalah ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri.

Lebih lanjut disampaikan untuk aspek affordability yakni keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Kemudian, aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik.

Dukungan transisi energi, jelasnya, dapat dilakukan melalui regulasi harga gas sebesar enam dollar AS per MMBTU, Rancangan Undang-Undang EBT dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Harga EBT.

Tak hanya itu, terdapat beberapa dukungan lain dari pemerintah, seperti penyusunan Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi, zero flaring gas, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Reini Wirahadikusumah, mengatakan komitmen Indonesia mencapai net zero emmission pada 2060 atau lebih cepat lagi, salah satunya bisa dicapai dengan mengembangkan pengetahuan mengenai Carbon Capture and Storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS).

Bakal Meningkat

Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan konsumsi energi dari sumber EBT akan terus melonjak ke depan, sehingga pemerintah harus memprioritaskan pengembangan EBT guna meningkatkan ketahanan energi nasional. Upaya itu selaras dengan komitmen dunia menekan pertumbuhan emisi gas rumah kaca.

"Untuk menekan emisi, pengembangan EBT harus masif, mendorong penggunaan kendaraan listrik, dan pengembangan interkoneksi transmisi, dan smart grid," kata Arifin.

Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan satu-satunya cara memperbaiki indeks ketahanan energi dengan meningkatkan bauran EBT. "Kalau masih tetap membangun akses ke energi fosil, sama saja melawan arus global yang sedang ingin menekan emisi karbon," kata Dian


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top