Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
CATATAN AKHIR TAHUN

Politik Gagasan dalam Kampanye Pilpres Masih Jauh Panggang dari Api

Foto : KORAN JAKARTA/M FACHRI

NOMOR URUT | Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin serta pasangan Capres dan Cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno usai Pengundian nomor urut di KPU, Jakarta, Jumat (21/9).

A   A   A   Pengaturan Font

Agus Supriyatna
Wartawan KoranJakarta

Gong tahapan pemilihan umum serentak 2019 telah ditabuh. Tahapan kampanye pun sudah dimulai. Panggung politik pun kian hingar bingar. Bahkan, terdengar begitu gaduh. Tentunya banyak harapan terhadap gelaran pemilu serentak. Terutama kualitas kompetisi politik yang lebih baik dan mendidik. Diharapkan, pesta politik menjadi semacam festival gagasan.

Arena pertarungan bagi konsep dan program. Tapi sepertinya harapan itu kian meredup. Sebab sejak tabuh gong kampanye dimulai, terutama pasca ditetapkannya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kegaduhan seperti tak pernah henti ditabuh. Dua pasangan capres dan cawapres akan bertarung, yakni pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Hasil survei Polmark Indonesia, setidaknya mengkonfirmasi itu. Dalam surveinya yang dilansir beberapa waktu lalu, lembaga sigi yang dipimpin Eep Saefullah Fatah ini mencatat, sekitar 60,8 persen pemilih menyatakan pernah menemukan informasi bohong dan fitnah di media sosial. Dan, dari jumlah itu, sebanyak 21,2 persen pemilih mengaku paling sering mendapati hoak dan fitnah dari medsos. Sisanya, 39,6 persen lainnya menyatakan jarang menemukan hal serupa.

Fakta lain diungkap Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto pada Oktober 2018. Menurut Wiranto penyebaran hoak dan ujaran kebencian trennya meningkatkan. Ini tentu sangat mengkhawatirkan. Sebab tahun ini dan tahun 2019 merupakan tahun politik.

Bagi Jokowi dan Prabowo, ini 'pertempuran politik' kedua mereka. Keduanya sempat saling berhadapan berebut tiket RI-1 pada pemilihan presiden tahun 2014. Saat itu, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla keluar sebagai jawara pemilihan setelah memuncaki klasemen perolehan suara. Prabowo yang kala itu berduet dengan Hatta Rajasa, harus gigit jari, kalah suara oleh Jokowi dan JK. Kini keduanya kembali bertarung berebut tiket yang sama.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani mengaku gundah melihat konstelasi persaingan politik serta narasi-narasi yang diproduksi dari arena kampanye capres dan cawapres. Nyaris tak ada kompetisi yang berbasis pada adu gagasan. Yang terjadi, saling serang. Saling nyinyir. Saling sudutkan. Harapan akan hadirnya kampanye sebagai festival gagasan jauh panggang dari api. " Narasi politik yang mencerdaskan masih jauh panggang dari api,"kata Andi.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin juga menyatakan hal serupa. Kata Ujang, narasi politik yang mencerdaskan masih jauh panggang dari api. Yang diproduksi dari panggung kampanye masih semata kegaduhan yang tanpa makna. Nyaris publik tak dapat apa-apa.

Selain mendapat kegaduhan demi kegaduhan yang sama sekali tak ada artinya. Elit masih berkutat dengan pola kampanye saling serang dan menyudutkan. Adu gagasan, adu program dan konsep, belum begitu terasa.

Festival Gagasan

Pesta demokrasi harusnya mencerdaskan publik. Begitu kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, beberapa waktu yang lalu. Karena itu, pesta politik lima tahunan ini mesti jadi festival gagasan. Bukan ajang saling kecam dan serang. Sebab subtansi pemilu, sejatinya adalah arena politik untuk saling adu gagasan. Adu program. Bukan seperti 'perang'.

" Substansi pemilu itu adalah sebuah kontestasi. Sebuah festival. Bukan suatu 'war'," kata Tjahjo.

Tjahjo juga mengibaratkan pemilu itu seperti sebuah lomba. Dalam sebuah lomba, strategi dan taktik diperlukan. Tapi, tumpuannya adalah ide, gagasan dan program. Itu instrumen utama yang harusnya memikat publik atau calon pemilih. Bukan taktik curang. Apalagi strategi kotor. Itu justru akan meracuni demokrasi itu sendiri. Apalagi jika yang dikembangkan adalah politik permusuhan. Politik pecah belah. " Pemilu itu bukan suatu perang. Bukan pula pertandingan," katanya. AR-3

Komentar

Komentar
()

Top