Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Obligasi Rekapitulisasi BLBI hingga Kini Membebani APBN

Piutang Negara di Masa Lalu Harus Ditagih

Foto : Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

» Para penerima fasilitas obligasi rekap BLBI yang belum menyelesaikan kewajibannya harus ditagih kembali.

» Indonesia berada di posisi ketiga setelah India dan Kamboja yang paling banyak membayar pungutan liar.

JAKARTA - Pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam dua hari berturut-turut yang menyatakan tidak ada toleransi terhadap pelaku korupsi keuangan negara serta perlunya membenahi integritas para birokrat dinilai belum cukup efektif untuk membuat anggaran lebih sehat.

Sebab, dalam struktur anggaran yang ada saat ini masih dibebani utang masa lalu yang hingga saat ini para penerima fasilitasnya banyak yang bermasalah dan belum melunasi kewajibannya.

Obligasi rekapitalisasi untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, hingga kini masih membebani anggaran melalui pembayaran bunga berbunga, namun di sisi lain banyak para penerima yang belum membayar lunas kewajibannya kepada negara.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andhyka Muttaqin, yang diminta pendapatnya, Jumat (11/12), mengatakan pemerintah juga harus mendorong pengusutan piutang-piutang negara yang belum selesai dan ditagihkan lagi, bukan hanya menyoroti dua kasus korupsi terkini di dua institusi yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Sosial.

Dia mengakui korupsi di dua kementerian tersebut memang sangat memalukan karena menyeret dua menterinya dan dilakukan di kala pemerintah dan masyarakat berjuang mengalahkan pandemi Covid-19.

Namun, dari sisi nilainya, biaya krisis di masa lalu tetap membebani anggaran sehingga perlu penyelesaian, terutama menagih para obligor BLBI yang belum melunasi fasilitas yang telah mereka terima.

"Kapan pun kejadiannya harus mendapat perlakuan hukum yang sama," kata Andhyka.

Kasus korupsi di Indonesia, jelasnya, merupakan perilaku sistemik yang harus diselesaikan secara sistemik pula, oleh seluruh komponen bangsa khususnya pemerintah sekarang. "Semua yang menyangkut keuangan negara di masa lalu tidak boleh diputihkan atau dilupakan, semua harus diusut tuntas," katanya.

Jangan karena pelakunya bisa memengaruhi oknum-oknum di kekuasaan, sehingga mereka bisa mengatur dan mendapat perlakukan yang istimewa. "Perlakuan hukum harus sama dan adil. Mereka harus diperlakukan seperti maling ayam, ditangkap, sebab kerugian yang ditumbulkan lebih besar. Jangan diistimewakan. Pengusutan harus adil dan hukum diterapkan," pungkas Andhyka.

Dampaknya Berkurang

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kinerja dan integritas dari berbagai institusi di Indonesia masih perlu perbaikan setelah merujuk pada hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2020 yang dilaksanakan oleh Transparency International Indonesia. Pembenahan itu karena dari semua negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di posisi ketiga terburuk setelah India dan Kamboja sebagai negara yang paling banyak pungutan liarnya.

Sekitar 30 persen dari responden mengaku saat berhubungan dengan layanan publik, mereka harus mengeluarkan uang untuk menyogok. "Walau angka ini masih lebih baik dari India 39 persen atau Kamboja 37 persen, tapi kita tidak boleh sama sekali merasa senang," tegasnya.

Justru Menkeu sangat kecewa karena baik pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga (K/L) sudah ditingkatkan tunjangan kinerjanya. Bahkan, berbagai upaya pencegahan telah dilakukan seperti digiatkannya wilayah birokrasi bersih dan melayani serta bebas korupsi.

"Namun, kalau 30 persen masyarakat kita mengakui masih harus bayar sogokan untuk pelayanan itu adalah suatu indikator yang perlu dilihat lagi strategi kita dalam memperbaiki birokrasi," kata Menkeu.

Sementara itu, peneliti ekonomi dari CORE, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan hasil survei patut jadi rujukan pemerintah apalagi berkaca pada sistem yang sudah dibangun saat ini sudah relatif ketat dalam meminimalisir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) termasuk sogokan. "Sebuah sistem selalu ada celah, apalagi bicara belanja pemerintah, termasuk anggaran penanganan pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19," katanya.

Belanja pemerintah, jelasnya, diharapkan memiliki efek berganda pada perekonomian terutama di masa resesi. Jika dikorupsi atau pengelolaannya tidak mengikuti prinsip good governance tentu akan mengurangi dampak pengganda ke ekonomi, terutama di daerah.

n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top