Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Perlindungan Konsumen | YLKI Catat Pengaduan Individu pada 5 Tahun Terakhir Meningkat

Pinjol Resahkan Masyarakat Beberapa Tahun Terakhir

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pinjaman online alias pinjol dalam beberapa tahun terakhir banyak dikeluhkan masyarakat. Bahkan, pinjol mendominasi aduan yang masuk ke pinjaman online alias pinjol mendominasi aduan yang masuk ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepanjang 2022.

"Pinjaman online beberapa tahun terakhir sangat dominan dan tertinggi di YLKI dengan 44 persen (dari seluruh aduan bidang jasa keuangan) pada 2022," kata Ketua Bidang Pengaduan YLKI, Rio Priambodo, dalam Jumpa Pers Refleksi Pengaduan Konsumen secara daring, Jumat (20/1).

Rio menyampaikan jasa keuangan berada pada peringkat 1 dari 10 besar pengaduan konsumen sepanjang 2022 dengan 32,9 persen dari total 200 ribu lebih aduan dari konsumen YLKI. Permasalahan yang terjadi pada pinjaman online mencakup cara penagihan (57 persen) yang dilakukan dengan cara yang tidak etis dan mengintimidasi serta menyebarkan data pribadi. Kemudian, diikuti dengan aduan mengenai permohonan keringanan pembayaran pinjaman online (11 persen), informasi pinjaman tidak sesuai (7 persen) hingga penyebaran data pribadi (6 persen).

"Ada juga tidak meminjam tapi ditagih sebanyak 5 persen. Entah dijadikan kontak darurat atau sebagainya tetapi dia tidak meminjam tapi ditagih," ujarnya.

Selain pinjol, sebanyak 25 persen konsumen mengadukan soal bank yang didominasi aduan mengenai permohonan keringanan. Lalu sebanyak 12 persen mengenai uang elektronik hingga 11 persen terkait leasing dan 7 persen mengenai asuransi.

Pada kesempatan sama, Ketua YLKI Tulus Abadi menyampaikan pengaduan individu pada 5 tahun terakhir cenderung meningkat. Pada 2022 terdapat 883 pengaduan individu, naik dibandingkan 2021 dan 2020 yang masing-masing 535 dan 402 aduan. Selain itu, Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Indonesia pada 2022 masih berada pada level mampu dengan skor 53,23. Namun skor tersebut meningkat jika dibandingkan skor IKK 2021 sebesar 50,39 persen atau skor IKK 2020 sebesar 49,07 persen.

"Ini fenomena-fenomena yang positif walaupun kalau terkait dengan complain habit skornya masih rendah karena baru pada paham dengan skor 34 saja. Padahal penting salah instrumen untuk meningkatkan indeks kepercayaan adalah complain habit," ucapnya.

YLKI mendata pengaduan terhadap ketidakpuasan atas barang/jasa yang telah dibeli hanya mencapai skor 34,44 dan unsur pihak yang dituju untuk pengaduan terhadap ketidakpuasan pembelian atas barang/jasa. "Disimpulkan bahwa pengajuan keluhan kurang direspons baik oleh masyarakat dan pihak yang dituju untuk pengaduan masih belum banyak diketahui oleh masyarakat," jelas Tulus.

Bahas RUU

Sebelumnya, DPR RI mulai membahas Rancangan Undang - Undang (RUU) Perlindungan Konsumen. Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul mengusulkan agar dalam penyusunan RUU Perlindungan Konsumen nanti ada muatan substansi tentang sanksi pidana.

Inosentius mengatakan, hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat umum, sepenuhnya sebagai hukum bisnis. Dengan kata lain, hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat publik.

Meski transaksi dalam perdagangan bersifat privat yang seolah hanya berkaitan dengan persoalan perdata, namun transaksi tersebut memiliki nilai-nilai publik. Sehingga, dia merasa, sanksi pidana menjadi penting dalam perlindungan konsumen.

Dalam praktik di beberapa negara, menurutnya, menggunakan sanksi pidana lebih efektif karena perusahaan atau pelaku usaha takut jika namanya tercemar karena kasus pidana. Terlebih, hal ini juga akan mempengaruhi bisnisnya.

Dia menambahkan, hukum Perlindungan Konsumen Indonesia juga belum menerapkan unsur tanggung jawab mutlak (strict liability). Sedangkan, negara-negara lain sudah menerapkan itu. Ia menilai, UU KUHP sudah mulai mengadopsi wacana itu.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top