Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pesona "Pat Ngiat Pan"

Foto : koran jakarta/aloysius widiyatmaka
A   A   A   Pengaturan Font

Indonesia beruntung karena memiliki kekayaan yang tak terkira nilainya berupa tradisi. Setiap daerah mempunyai tradisi. Beruntungnya lagi, warisan leluhur itu masih banyak yang terawat dengan baik, walau tak sedikit pula yang sudah nyaris lenyap atau bahkan telah hilang.

Masyarakat Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia juga memelihara dengan baik kultur warisan leluhur. Salah satunya, tradisi "Pat Ngiat Pan" atau yang biasa disebut "Festival Kue Bulan" (Moon Cake Festival).

Tradisi unik ini dirayakan di beberapa tempat, termasuk di Puri Tri Agung, Sungailiat, Bangka, Babel pada 29 September 2018 lalu. Acaranya sangat meriah. Ribuan warga menyerbu Puri Tri Agung untuk ambil bagian dalam perayaan yang dimulai dengan pesta kuliner gratis tersebut. Kuliner gratis mulai pukul 18.00. Sedangkan acara Pat Ngiat Pan itu sendiri berakhir sekitar pukul 22.30.

Perayaan Pat Ngiat Pan menjadi pesona tersendiri bagi wisatawan yang hadir. "Saya baru kali ini mengikuti festival kue bulan," ujar seorang wisatawan asal Yogyakarta, Nuri (27). Menurut pegawai bank terbesar swasta yang datang bersama tiga rekannya ini, Pat Ngiat Pan, sungguh memesona. "Terutama makannya. Gratis," ujar wanita berbintang Sagitarius ini sambil cekikikan.

Pesona Pat Ngiat Pan juga terlihat dari pengunjung yang datang dari berbagai tempat di Bangka dan Belitung. Tentu ada juga dari Jakarta, Bandung, dan kota-kota lain. Bahkan, satu-dua ada juga turis dari Malaysia. "Saya belum pernah dengar di Malaysia acara seperti ini. Mungkin ada, hanya saya saja barangkali yang tidak tahu," kata wisatawan asal Bukit Jalil, Malaysia, Ramli (34).

Daya pesona Festival Kue Bulan pun tampak dari kegiatan kuliner yang tiada henti nyaris hingga acara panggung hiburan selesai. Barangkali hanya berbeda setengah jam antara selesainya kuliner dan rampungnya hiburan di panggung. Antrean di martabak "Akwan" dan "Thew Fu Fa" (kembang tabu) tak pernah berhenti. "Belum boleh. Nanti jam enam," kata Yanti yang membantu membagi Martabak "Akwan" saat ditanya Koran Jakarta (KJ), apakah sudah boleh minta martabak, pada sore hari sebelum pukul 18.00. Antrean terus ramai. KJ dikasih juga, tetapi hanya kecil. "Ini coba," kata Yanti. Menu lainnya seperti kue bulan, es cendol, dan kolak pisang. Ada juga teh manis dan kopi dari restoran Tanjung Pesona.

Juara Dunia

Acara festival juga diisi berbagai pertunjukan untuk menghibur pengunjung yang mencapai 3.000-an. "Tidak kurang dari 3.000 yang datang dalam acara Pat Ngiat Pan ini," kata Ketua Panitia Perayaan Festival Kue Bulan, Bambang Patijaya. Menurut Bambang, acara ini untuk berbagi kebahagiaan dengan warga masyarakat, tidak ada acara lain. "Tetapi, saya juga mengajak berdoa untuk para korban bencana di Palu dan Donggala. Jangan kita di sini senang-senang, lalu lupa saudara kita yang tengah terkena musibah. Kita doakan mereka juga," katanya.

Dia lalu mengajak hadirin diam sejenak berdoa untuk Donggala dan Palu yang tertimpa musibah gempa dan tsunami. "Mari kita berdoa untuk kesuksesan, kebahagiaan, kesehatan kita semua," katanya. Dia mengajak hening sejenak untuk menunjukkan keprihatinan terhadap masyarakat yang terkena musibah gempa dan tsunami di Palu dan Donggala.

Hiburan paling fenomenal adalah pertunjukan dari sang juara dunia barongsai dari Bodhi Darma Shaolin. Barongsai melompat-lompat dari tiang ke tiang lain, tanpa cacat, apalagi meleset. Pemain barongsai sangat mahir. Maklum mereka berdua adalah juara dunia. Penonton yang hobi cha cha juga disediakan "arena". Tua muda turun bergoyang dengan meriah diiringi berbagai lagu mandarin, dangdut, atau musik lain.

Lagu "Terajana" dan "Goyang Maumere" yang dibawakan juara KDI- liga dangdut, Yendri, yang warga Sungailiat juga mampu menggoyang ribuan pengunjung yang memenuhi halaman Puri Tri Agung. Para pengunjung nyaris tak ada yang beranjak pulang sampai akhir acara. "Saya belum pernah melihat orang ribuan seperti ini bertahan mengikuti suatu acara sampai selesai," ujar seorang penonton pria asal Koba yang enggan disebut namanya.

Wisatawan dari Jakarta yang ingin berkunjung ke Puri Tri Agung bisa terbang dari Bandara Soekarno Hatta dengan naik Garuda Indonesia atau Sriwijaya Air mendarat di Bandara Dipati Amir, Pangkalpinang. Kemudian, dilanjutkan naik taksi ke Sungailiat menuju Puri Tri Agung sekitar 45 menit.

Bisa Jadi Agenda Turistik

Ada yang menarik pada Festival Kue Bulan (Moon Cake Festival) atau Pat Ngiat Pan di Putri Tri Agung Sungailiat ini. Salah satunya, temanya "Keharmonisan Serumpun Sebalai". Intinya, tema ini mau mengajak warga Bangka Belitung (Babel) mendukung hubungan keharmonisan di masyarakat. Di Pulau Bangka ini, masyarakatnya terkenal dengan istilah Tongin Fangin Tjit Jong yang artinya Melayu-Tionghoa sama saja. Ini merupakan cermin eratnya kebersamaan, walaupun berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan.

Hal itu terlihat dari kenyataan, semua lapisan masyarakat membaur menghadiri perayaan Pat Ngiat Pan. Mereka datang dari berbagai daerah, tidak hanya dari Kabupaten Bangka, tetapi juga Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Pangkalpinang, dan daerah lain di luar Babel.

Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Babel Tarmin saat mewakili Gubernur Babel, H Erzaldi Rosman Djohan, Pemerintah Provinsi sangat mendukung perayaan Pat Ngiat Pan yang diselenggarakan Puri Tri Agung ini. "Perayaan Pat Ngiat Pan ini bisa menjadi agenda turistik yang mengangkat potensi wisata Bangka," katanya.

Dia menilai perayaan ini dari tahun ke tahun semakin ramai dan berkembang sehingga banyak warga yang hadir untuk melihat langsung Moon Cake Festival. Dia lalu mengingatkan rakyat pada tahun politik ikut menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketua Panitia Perayaan Pat Ngiat Pan, Bambang Patijaya, menguraikan sejarah perayaan Moon Festival tersebut. Dulu dipercaya, pada perayaan ini, bulan berada di titik terdekat dengan bumi. Pada malam perayaan di Puri Tri Agung pada 29 September malam itu sendiri, di ketinggian tampak bulan bersinar di atas laut depan Puri. Sayang bulannya belum bulat.

Menurut caleg dari Babel ini, festival dulunya dimulai di Tiongkok. Saat itu terjadi kekeringan panjang. Tiba-tiba muncullah banyak matahari. Oleh seorang pahlawan, matahari-matahai tersebut dipanah, sampai akhirnya matahari tersisa satu saja. Cerita selanjutnya, ujar Bambang, pacar sang pahlawan makan sesuatu yang berkhasiat, sehingga berumur panjang. Tapi kekasihnya itu akhirnya terbang ke bulan. "Maka, patah hatilah sang pahlawan. Nah, untuk mengenangnya, diadakan festival kue bulan. Begitu kisahnya," tukas Bambang.

"Intinya, dari kisah diadakannya festival ini adalah berkumpul bersama dan berbagi kebahagiaan kepada sesama agar tumbuh hubungan yang baik antarsesama," tukas Ketua KNPI Babel tersebut. Kebersamaan itu memang terlihat dari keeratan dan berbaurnya warga masyarakat dengan menyantap kuliner ramai-ramai. Kemudian, mereka menari dan berbahagia bersama menyaksikan hiburan yang disediakan panitia, bahkan di antara mereka menari bareng-bareng. Inilah kekerabatan yang harus dijaga.

wid/G-1


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top