Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pertemuan D-8

Perubahan Iklim Makin Menimbulkan Ketidakpastian bagi Petani

Foto : KJ/WAHYU AP

Dwijono H Darwanto Guru Besar Fakultas Pertanian UGM - Climate Smart Agricultur atau Smart Agriculture, sebagian menyebut dengan Precise Agriculture, harus men-support subjek pertaniannya.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Inovasi menjadi kunci setiap negara untuk menghadapi perubahan iklim yang berdampak pada sektor pertanian. Pengembangan Climate Smart Agriculture (CSA) sangat tepat sebagai isu prioritas di tengah situasi pertanian global yang menghadapi tekanan akibat perubahan iklim.

Dalam keterangan tertulis Kementerian Pertanian pada pertemuan negara-negara D-8 yang diterima di Jakarta, Jumat (14/1), menyebutkan setidaknya empat inovasi kunci dalam CSA, yakni pengelolaan dan pemanfaatan air secara lebih efisien dan berkelanjutan, perbaikan pengelolaan hara dan pupuk, penerapan biofortifikasi pada tanaman pangan utama nasional, serta penerapan inovasi dan teknologi untuk menekan kehilangan hasil dan limbah pangan/Food Loss and Waste (FLW).

"Beberapa inovasi yang telah kami terapkan, di antaranya adalah mendorong implementasi Good Handling Practices (GHP), perbaikan kualitas ruang penyimpanan hasil panen, dan penerapan teknik pemanenan yang lebih baik melalui perbaikan desain mesin panen, serta memberikan pelatihan bagi operator dan bimbingan teknis bagi petani," sebut Kementan.

Namun demikian, kebergantungan sektor pertanian terhadap kondisi alam pun tidak dapat dipungkiri. Sektor pertanian sangat sensitif terhadap dampak perubahan iklim, karena bertumpu pada siklus air dan cuaca untuk menjaga produktivitasnya.

Peran Petani

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan di tengah perubahan dunia baik iklim maupun percepatan teknologi petani akan selalu ada memainkan peran dengan menyediakan pangan. Sebab itu, apa pun strategi pemerintah semestinya berpihak kepada petani kecil di perdesaan.

Dwijono mengakui, pada saat ini iklim dan cuaca tidak bisa diprediksi karena ada pergeseran iklim dan cuaca dan menyimpang dari "pranoto mongso" yang dulu bisa digunakan untuk patokan berusaha tani. Pergeseran tersebut yang sekarang selalu digunakan untuk patokan dalam berusaha tani.

"Climate Smart Agricultur atau Smart Agriculture, sebagian menyebut dengan Precise Agriculture, harus men-support subjek pertaniannya. Di Indonesia ya petani-petani kecil ini, bagaimana mentransfer pengetahuan dan juga memberi rasa ayem pada mereka semua yang berusaha tani," paparnya.

Di tengah situasi cuaca dan iklim yang sangat sulit diprediksi, makanya petani Indonesia di perdesaan umumnya justru mengutamakan prediksi harga jual komoditas mereka. Spekulasi menanam petani meningkat.

"Nah, dengan pola begitu, yang jadi korban kan produktivitas kalau dihitung secara agregat nasional akan turun itu. Karena nanamnya kan tidak stabil, petani spekulasi saja, patokannya perkiraan harga di tengah iklim dan cuaca yang sulit diprediksi ini. Nah, ini apa yang akan dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementan?" kata Dwijono.

Mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, mengatakan inovasi menjadi kunci mendorong produksi. "Agar petanian makin modern, harus memodernkan juga petaninya," katanya.

Ketua Pusat Studi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian / PS2EKP) Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Ihsannudin, mengatakan untuk mendukung CSA, peran tenaga penyuluh sebagai garda depan pemerintah perlu diperkuat, begitu pula dengan inisiatif asuransi pertanian untuk membantu para petani.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top