Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Dr. Saptarining Wulan Pakar Diversifikasi Pangan dan Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

Pertanian Pangan Kita Melawan Alam

Foto : ISTIMEWA

Dr. Saptarining Wulan Pakar Diversifikasi Pangan dan Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

A   A   A   Pengaturan Font

Bangsa Indonesia memiliki anugerah kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati yang besar. Indonesia memiliki vegetasi alam hutan hujan tropis (tropical rain forest) dan memiliki dua musim, yaitu penghujan dan kemarau. Di dalam vegetasi hutan hujan tropis memiliki sekitar 480 spesies per hektare.

Jadi kalau kita masuk ke dalam hutan hujan tropis, kita akan menemukan berbagai macam spesies, seperti aneka pohon buah-buahan: rambutan, durian, duku, kelengkeng, manggis, mangga, petai, jengkol; aneka pohon kayu-kayuan, seperti jati, mahoni, sonokeling, meranti; aneka tanaman yang menyimpan karbohidrat seperti sagu, sorghum, padi hutan, dan aneka umbi-umbian.

Selain itu juga ditemukan aneka tumbuhan untuk minuman dan juga untuk obat-obatan terutama herbal. Berbeda dengan vegetasi prairi yang banyak ditemukan di Amerika, Eropa, dan Australia.

Vegetasi prairi banyak tumbuh tanaman high grass, seperti: gandum, padi, jagung, rye, amaranth, quinoa, oat, tebu, bunga matahari, kedelai. Di dalam vegetasi prairi, ditemukan sekitar 6-10 spesies per hektare.

Namun, dalam hal jumlah sangat jauh berbeda antara vegetasi hutan hujan tropis dan prairi. Kalau di vegetasi Hutan Hujan Tropis dalam satu hektar memiliki banyak spesies, namun masing-masing spesies jumlahnya sedikit.

Hal ini yang sering disebut dengan polikultur, sedangkan di dalam vegetasi prairi, jumlah spesiesnya sedikit, akan tetapi masing-masing spesies tersebut memiliki jumlah yang sangat melimpah. Hal ini yang biasa disebut monokultur.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang potensi keanekaragaman pangan demi menjaga ketahanan pangan di negeri kita, wartawan Koran Jakarta, Fredrikus W Sabini, mewawancarai Dr Saptarining Wulan, pakar diversifikasi pangan dan juga Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisaksi. Berikut petikannya.

Kenapa ketahanan pangan itu harus dijaga?

Karena pangan itu sangat vital, menyangkut ketahanan nasional. Urusan perut, apabila kita lapar, itu sangat sensitif dan mudah untuk terpancing kerusuhan. Makanya, untuk menjaga keamanan nasional, ketahanan nasional maka kondisi masyarakat tidak boleh ada kelaparan. Masyarakat harus terpenuhi terutama makanan pokoknya, perutnya harus kenyang supaya tidak mudah terpancing kerusuhan.

Ada ketahanan pangan dan ada kedaulatan pangan. Bisa dijelaskan apa bedanya?

Ada perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, meskipun sama-sama tujuannya yaitu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, namun untuk ketahanan pangan dalam mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, produk komoditas pangannya dapat dicukupi berasal dari dalam negeri dan luar negeri (impor). Nah, untuk kedaulatan pangan, pemenuhan kebutuhan pangan berasal dari produk komoditas dalam negeri saja, tidak ada impor.

Bagaimana Anda melihat pembangunan pertanian kita, apakah sudah on the track?

Pembangunan pertanian kita ini melawan alam. Sampai saat ini, makanan pokok kita mayoritas masih sangat tergantung dengan padi. Seperti yang sudah saya sampaikan di awal tadi bahwa padi adalah salah satu jenis tanaman high grass yang tumbuh subur di vegetasi prairi, monokultur. Padahal, vegetasi alam kita adalah hutan hujan tropis, polikultur. Kita ubah vegetasi alam kita dari hutan hujan tropis (polikultur) ke prairi (high grass, monokultur).

Apa yang terjadi dengan kondisi pertanian melawan alam seperti itu?

Ya seperti yang kita alami saat ini, kita membutuhkan banyak pupuk untuk persawahan padi, pestisida, herbisida, bibit unggul. Muncul berbagai hama dan penyakit tanaman padi. Belum lagi kalau di musim kemarau akan terjadi kekeringan, begitu pula pada musim penghujan akan terjadi banjir. Sehingga sering kali mengakibatkan gagal panen karena kekeringan dan banjir, serta karena hama dan penyakit tanaman padi. Hal ini terjadi karena kita melawan alam. Ditambah lagi dengan kondisi perubahan iklim yang terus berlanjut.

Bisa dijelaskan lebih jauh mengenai vegetasi hutan hujan tropis Indonesia?

Kondisi vegetasi hutan tropis di Indonesia, dengan akar-akar pohon yang kuat, serta tutupan kanopi dari pohon sangat berfungsi dengan dua musim di Indonesia. Apabila musim penghujan, akar-akar pohon di vegetasi hutan hujan tropis akan menyerap dan menahan air di dalam tanah sehingga tidak menimbulkan banjir dan tanah longsor; dan apabila musim kemarau, vegetasi hutan hujan tropis tersebut akan mengeluarkan air sedikit demi sedikit untuk kepentingan makhluk hidup di sekitarnya. Inilah anugerah Allah Yang Maha Kuasa untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Tapi karena kita mengubah alam, dari vegetasi hutan hujan tropis ke persawahan monokultur maka akar-akar tanaman padi tidak mampu menahan air hujan di waktu musim hujan dan mengeluarkan air di saat musim kemarau seperti fungsi vegetasi hutan hujan tropis, karena akar-akar padi adalah akar serabut pendek yang tidak mampu untuk menahan dan menyimpan air hujan dalam jumlah besar.

Bagaimana dengan diversifikasi pangan itu sendiri?

Pada zaman nenek moyang kita, diversifikasi pangan sudah berjalan sesuai dengan kekayaan alam yang tumbuh disekitarnya. Sebagai contoh, di Gunung Kidul, Jawa Tengah, tumbuh subur tanaman singkong, maka makanan pokok mereka pada umumnya adalah singkong yang diolah menjadi gaplek dan dibuat menjadi tiwul sebagai sumber karbohidrat untuk makanan pokok mereka. Kemudian di wilayah Indonesia Bagian Timur, banyak dijumpai pohon sagu di hutan, maka makanan pokok mereka adalah sagu diolah menjadi papeda, kapurung, sinoli, dan onyop. Di Papua pegunungan, tumbuh subur aneka umbi-imbian, maka makanan pokok mereka adalah umbi-umbian yang mereka peroleh dari dalam hutan yang subur. Kita memiliki sekitar 77 jenis tanaman sumber peroleh dari hutan yang subur. Begitu pula di Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak tumbuh sorghum, maka masyarkaat di sekitar sudah terbiasa konsumsi beras sorghum, atau olahan dari tepung sorghum.

Wah, makin menarik membahas soal potensi diversifikasi pangan ini?

Betul. Jadi kita tidak hanya tergantung pada satu macam produk makanan pokok, tapi beraneka macam. Kita memiliki banyak pilihan dan hampir di semua daerah memiliki potensi pangan yang luar biasa sebagaimana telah disebut di atas.

Lalu, bagaimana ceritanya kok kita akhirnya bergantung pada satu produk pangan saja seperti beras?

Nah… ini menarik dan ceritanya juga cukup panjang. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk menjaga ketahanan pangan, keamanan nasional, ketahanan nasional, maka muncullah program beras untuk orang miskin (Raskin) yang dibagikan dari pemerintah kepada yang berhak. Akhirnya, semua warga Indonesia didorong mengonsumsi beras, sepeti mengabaikan potensi pangan di daerah-daerah tadi. Dari sinilah cikal bakal awal ketergantungan pangan kita pada beras. Karena masyarakat yang dulunya konsumsi pangannya tergantung dari komoditas alam di sekitarnya, pelan-pelan diubah menjadi konsumsi beras melalui program Raskin.

Wah… wah… dampaknya parah juga ya?

Ya. Saat ini ketergantungan kita terhadap beras sangat tinggi, sehingga pemerintah sering kerepotan untuk memenuhi kebutuhan beras. Bukan hanya beras, tapi ketergantungan kita terhadap gandum juga sangat tinggi. Kita menjadi importir gandum terbesar di dunia, mengalahkan Mesir yang dulunya adalah importir gandum terbesar dunia. Tepung terigu yang berasal dari gandum, mayoritas di Indonesia digunakan untuk bahan membuat mi, roti dan biskuit. Salah satu produk mi instan di Indonesia, tahun kemarin adalah ulang tahun yang ke-50, bahkan restoran waralaba dari Amerika juga tahun kemarin ulang tahun yang ke-30. Jadi, kita bisa sadari bahwa konsumsi gandum kita sudah setengah abad, mengalahkan makanan pokok dari nenek moyang kita yang sudah ribuan tahun, hanya tergeser dengan produk komoditas pendatang dari luar negeri yang usianya baru 50-an tahun masuk di Indonesia. Hal ini juga merupakan bentuk kapitalisme di bidang pangan di mana masyarakat kita sangat cinta dan bangga sekali dengan produk mi instan tersebut, seolah-olah murni produk kita sendiri, namun bahan dasarnya 100 persen impor, yaitu tepung terigu yang berasal dari gandum.

Ke depan, bagaimana soal konsumsi gandum ini?

Kaum milenial saat ini terbagi menjadi dua bagian, yang satu ke-Barat-Barat-an; dan satunya ke-Korea-Korea-an. Untuk yang ke-Barat-Barata-an, mereka senang dengan makan roti seperti burger dan produk-produk roti lainnya. Hal ini dapat dilihat beberapa hari yang lalu, ada salah satu toko roti yang merayakan ulang tahun ke-45 memberikan diskon harga sebesar 45 persen untuk semua produk selama satu hari. Antrean di semua toko di seluruh wilayah di Indonesia antre panjang. Hal ini menunjukkan kecintaan masyarakat terhadap roti masih tinggi. Sedangkan kelompok satunya adalah kelompok yang gandrung dengan K-Pop, K-fashion, dan Drama Korea (Drakor) yang di dalamnya banyak disisipkan iklan-iklan makanan Korea Selatan, dan kelompok milenial ini sangat suka dengan makanan Korea Selatan.

Apakah pola pengembangan yang melawan alam ini yang membuat impor pangan kita tinggi?

Iya benar. Saat ini, fokus pemerintah untuk pangan pada di tiga komoditas pangan, yaitu padi, jagung, kedelai (pajale), utamanya pada beras karena konsumsi masyarakat Indonesia akan beras sangat tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 139 kg per orang per tahun. Sementara Malaysia, Korea, dan Thailand misalnya, hanya 70 kg beras per orang per tahun. Setelah dilakukan program diversifikasi pangan pun konsumsi beras kita tetap masih tinggi, yaitu sekitar 90-120 kg per kapita per tahun. Penurunan tersebut diharapkan masyarakat beralih ke diversifikasi pangan, namun kenyatannya banyak beralih ke terigu. Kita dapat lihat sekarang ini orang-orang sarapan banyak yang beralih ke roti dan mi.

Untuk memenuhi kecukupan kebutuhan akan beras, pemerintah semaksimal mungkin berusaha dengan mengembangkan teknologi mekanisasi, intensifikasi, dan bahkan ekstensifikasi dengan membuka beberapa lokasi food estate, meskipun belum berhasil. Namun, kondisi kesuburan wilayah di seluruh Indonesia berbeda-beda. Kesuburan dan produktivitas paling tinggi untuk komoditas beras adalah di Jawa dan Bali, karena banyak dikelilingi gunung-gunung yang menyuburkan tanah. Sehingga produktivitas yang tinggi di beberapa wilayah harus membantu memasok beras kepada wilayah-wilayah yang kurang subur, bahkan wilayah yang tandus sekalipun. Oleh karena itu, apabila di musim paceklik dan didukung dengan terjadinya bencana, mau tidak mau pemerintah melakukan impor beras untuk menjaga keamanan dan kestabilan negara.

Tadi disampaikan kita memiliki sekitar 77 jenis tanaman lokal yang mengandung karbohidrat. Apakah pangan lokal itu dijamin lebih aman dibanding pangan luar?

Oo … tentu. Namanya saja pangan lokal, pasti berasal dari lokal daerah setempat. Namanya pangan lokal, dari aspek lingkungan itu pasti tumbuh subur sudah sesuai dengan kondisi alam lingkungan setempat, baik cuacanya, iklimnya, kesuburan tanahnya, kondisi airnya. Di era perubahan iklim ini, tanaman lokallah yang paling cocok dikembangkan dan paling membantu kita dalam keadaan urgen sekalipun. Seperti halnya pada saat Covid-19 kemarin, dalam keadaan genting, kita tidak ada pergerakan, stay di rumah, tidak ada kegiatan ekspor-impor, kegitan transportasi-distribusi terbatas, tapi kita semua perlu makan. Pahlawan kita pada saat itu salah satunya adalah petani. Muncul kekhawatiran akan kekurangan beras pada saat itu. Dalam keadaaan urgen tersebut maka tanaman pangan lokal muncul untuk menenangkan kita. Pada saat itu, Menteri Pertanian menyampaikan pesan bahwa, "Tenang, kita tidak akan kekurangan pangan, kita punya cadangan sagu". Namun sering berjalannya waktu. .. nama sagu sudah berangsur tak terdengar, beberapa tahun kemudian muncul nama sSorghum … sepertinya nasibnya akan sama nama sagu yang pernah disebut-sebut sebelumnya.

Pangan lokal, selain aman dari aspek lingkungan, ia juga aman bagi tubuh kita. Pangan lokal yang dulunya juga menjadi makanan pokok nenek moyang kita, mikroba dalam pencernaan nenek moyang kita diturunkan kepada generasi turunannya. Jadi, pangan lokal paling cocok dengan pencernaan tubuh kita.


Redaktur : Redaktur Pelaksana
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top