Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Dr. Saptarining Wulan Pakar Diversifikasi Pangan dan Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

Pertanian Pangan Kita Melawan Alam

Foto : ISTIMEWA

Dr. Saptarining Wulan Pakar Diversifikasi Pangan dan Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

A   A   A   Pengaturan Font

Ke depan, bagaimana soal konsumsi gandum ini?

Kaum milenial saat ini terbagi menjadi dua bagian, yang satu ke-Barat-Barat-an; dan satunya ke-Korea-Korea-an. Untuk yang ke-Barat-Barata-an, mereka senang dengan makan roti seperti burger dan produk-produk roti lainnya. Hal ini dapat dilihat beberapa hari yang lalu, ada salah satu toko roti yang merayakan ulang tahun ke-45 memberikan diskon harga sebesar 45 persen untuk semua produk selama satu hari. Antrean di semua toko di seluruh wilayah di Indonesia antre panjang. Hal ini menunjukkan kecintaan masyarakat terhadap roti masih tinggi. Sedangkan kelompok satunya adalah kelompok yang gandrung dengan K-Pop, K-fashion, dan Drama Korea (Drakor) yang di dalamnya banyak disisipkan iklan-iklan makanan Korea Selatan, dan kelompok milenial ini sangat suka dengan makanan Korea Selatan.

Apakah pola pengembangan yang melawan alam ini yang membuat impor pangan kita tinggi?

Iya benar. Saat ini, fokus pemerintah untuk pangan pada di tiga komoditas pangan, yaitu padi, jagung, kedelai (pajale), utamanya pada beras karena konsumsi masyarakat Indonesia akan beras sangat tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 139 kg per orang per tahun. Sementara Malaysia, Korea, dan Thailand misalnya, hanya 70 kg beras per orang per tahun. Setelah dilakukan program diversifikasi pangan pun konsumsi beras kita tetap masih tinggi, yaitu sekitar 90-120 kg per kapita per tahun. Penurunan tersebut diharapkan masyarakat beralih ke diversifikasi pangan, namun kenyatannya banyak beralih ke terigu. Kita dapat lihat sekarang ini orang-orang sarapan banyak yang beralih ke roti dan mi.

Untuk memenuhi kecukupan kebutuhan akan beras, pemerintah semaksimal mungkin berusaha dengan mengembangkan teknologi mekanisasi, intensifikasi, dan bahkan ekstensifikasi dengan membuka beberapa lokasi food estate, meskipun belum berhasil. Namun, kondisi kesuburan wilayah di seluruh Indonesia berbeda-beda. Kesuburan dan produktivitas paling tinggi untuk komoditas beras adalah di Jawa dan Bali, karena banyak dikelilingi gunung-gunung yang menyuburkan tanah. Sehingga produktivitas yang tinggi di beberapa wilayah harus membantu memasok beras kepada wilayah-wilayah yang kurang subur, bahkan wilayah yang tandus sekalipun. Oleh karena itu, apabila di musim paceklik dan didukung dengan terjadinya bencana, mau tidak mau pemerintah melakukan impor beras untuk menjaga keamanan dan kestabilan negara.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Redaktur Pelaksana
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top