Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pertanggungjawaban Pidana dalam Jabatan Penyelenggara Negara

Foto : ISTIMEWA

Romli Atmasasmita - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

A   A   A   Pengaturan Font

Dari sekian banyak kasus kolusi, nepotisme, dan korupsi juga suap dan gratifikasi selalu terjadi dalam hubungan perbuatan oleh seorang penyelenggara negara/aparatur sipil negara/ASN dalam kedudukan dan jabatannya di kementerian atau lembaga negara (K/L).

Berbeda dengan perbuatan pelanggaran hukum yang terjadi dan dilakukan oleh orang pribadi yang merugikan kepentingan orang lain karena pelanggaran hukum dalam kedudukan dan jabatan seseorang di K/L terkait dengan dan terikat pada sumpah jabatan yang diucapkan ketika ia dilantik sebagai penyelenggara negara dalam kedudukan dan jabatannya di mana dalam lafal sumpah dikatakan antara lain, "akan menjunjung tinggi UUD dan Peraturan Perundang-undangan lainnya" sehingga terhadap setiap penyelenggara negara/ASN yang melanggar sumpah implisit pelanggaran hukum dapat dikenal sanksi, baik sanksi administratif dan sanksi pidana atau sanksi perdata, dan diberhentikan dari kedudukan dan jabatan yang diembannya.

Begitu pula bagi pejabat/ASN tersebut akan menghadapi kesulitan masa depannya untuk kembali menjadi penyelenggara negara/ASN dan akibat terburuk jika terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, adalah dijebloskan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian terdapat 2 (dua) tanggung jawab seorang penyelenggara negara/ASN dari aspek hukum, yaitu tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab atas kedudukan dan jabatannya.

Dalam hal tanggung jawab karena kedudukan dan jabatannya, berlaku baginya ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memasukkan setiap peristiwa pelaksanaan tugas bagi seorang penyelenggara negara/ASN yang dinyatakan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse de droit, bhs Prancis) atau onrechtoverhieds daad, bhs Belanda) dibedakan antara tindakan /keputusan yang melampaui batas wewenang, tindakan mencampur adukkan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang (Pasal 17); yang dimaksud dengan tindakan melampaui batas wewenang adalah keputusan atau tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan tindakan mencampur adukkan wewenang adalah keputusan atau tindakan a. di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan, dan yang dimaksud dengan tindakan sewenang-wenang adalah keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut, pertanggungjawaban seorang penyelenggara negara/ASN yang diutamakan adalah pertanggungjawaban yang bersifat administratif. Dalam arti bahwa setiap keputusan dan atau tindakannya harus menunjukkan kepatuhan kepada mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang khusus mengenai tugas dan wewenang yang diberikan UU kepadanya; kecuali UU memberikan diskresi kepadanya.

Yang dimaksud dengan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Kata kunci dari diskresi adalah frasa dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas. Keputusan atau tindakan penyelenggara negara yang termasuk kategori tindakan atau keputusan diskresi harus dan wajib di taati sebatas pada 4 (empat) tindakan pilihan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014.

Putusan PTUN

Tugas menentukan telah atau tidak terjadi penyalahgunaan wewenang terletak pada putusan pengadilan tata usaha negara. Lingkup Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah dirumuskan secara negatif di dalam UU Nomor 5 Tahun 1986, yaitu tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Ketujuh lingkup kewenangan pengadilan tersebut juga meliputi sengketa terkait badan-badan sipil dan sengketa dalam kaitan hubungan antara badan militer dan sipil dan antara keduanya dengan perorangan. Yang paling dekat dengan konsep dan pengertian serta lingkup penyalahgunaan wewenang dengan perkara pidana adalah tindak pidana korupsi karena di dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 199 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang memuat rumusan unsur tipikor, yaitu … setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; perbuatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan menyalahgunakan wewenang … dan seterusnya dipastikan merujuk pada konsep dan pengertian yang terdapat pada UU Nomor 30 Tahun 2014.

Namun demikian, tafsir hukum tersebut masih menjadi peredebatan di kalangan ahli hukum terutama ahli hukum Tata Negara/Hukum Administrasi negara dan ahli hukum pidana. Pertanyaan mendasar yang sering muncul baik dalam teori maupun praktik adalah apakah perbuatan penyalahgunaan wewenang (onrechtmatigoverheidsdaad) dapat dipidana?

Sekalipun dalam praktik peradilan tindak pidana tipikor telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap di mana seorang terdakwa, pejabat negara yang telah melaksanakkan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepadanya, tetapi kemudian telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tetap saja dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 atau Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sesungguhnya sumber masalah hukum dalam hubungan perkara seorang pejabat negara yang terlibat tindak pidana korupsi terletak pada perumusan frasa perbuatan penyalahgunaan wewenang karena kedudukan dan jabatannya yang dihubungkan secara langsung pada timbulnya akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Jika praktik peradilan tipikor terhadap seorang pejabat negara sedemikian dibiarkan tanpa koreksi maka dapat dipastikan tidak akan ada kepastian hukum bagi seorang pejabat negara yang diberikan kepercayaan unit struktural yang dipimpinnya memiliki suatu proyek strategis nasional yang memiliki nilai proyek yang signifikan menggunakan dana APBN/APBD.

Dampak dari praktik peradilan tipikor sedemikian telah menimbulkan stagnasi proyek pembangunan infrastuktur stategis pemerintah dalam segala sektor pembangunan yang pada gilirannya dana APBN/APBN yang tersedia tidak dapat diserap habis pada setiap laporan akhir tahun yang berarti menghambat proyek pembangunan nasional.

Pertanyaan lanjutan dari masalah penerapan UU Tipikor terhadap proyek strategis nasional ini masih dapat dipertahankan seterusnya? Sistem hukum pidana yang dianut di Indonesia adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan- ajaran asas kesalahan (schuld leer) yang bertumpu pada prinsip hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan artinya perbuatan seseorang harus dianggap tidak patut dan harus tercela dan dapat dicelakan kepada pelakunya sehingga setiap perbuatan yang diduga tindak pidana pada seseorang harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau juga harus dikaji ada tidaknya hal-hal yang menghapuskan seseorang dari hukuman sekalipun perbuatannya terbukti tindak pidana; meringankan hukumannya, tidak semata-mata harus menghukumnya.

Hal ini sejalan dengan ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP, pada frasa kalimat awal, "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya; jelas dari frasa awal pada ketentuan tersebut penjatuhan hukum bukan tujuan hukum pidana melainkan masih harus dilengkapi keyakinan hakim.

Baca Juga :
Raker terkait ASN

Sistem pembuktian sedemikian dikenal dengan sistem stelsel negative (negative wettelijke beginsel) yang harus dimaknai bahwa untuk menetapkan kesalahan seseorang dan menjatuhkan pidana, hakim harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (bukan cukup) yakin bahwa terdakwa bersalah sebaliknya jikapun bukti permulaan sah, tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa maka hakim wajib membebaskannya.

Analisis Ekonomi Hukum Pidana

Menarik garis dari uraian mengenai sistem dan asas hukum pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak setiap orang dan atau pejabat yang menjalankan jabatannya telah sesuai sejalan berdasarkan mandat yang diberikan kepadanya berdasarkan undang-undang hanya karena timbulnya akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara (lazimnya menurut LHPBPK) serta merta merupakan tindak pidana korupsi karena dalam pembuktian hukum pidana dan sejalan dengan ajaran kausalitas-sebab akibat(causaliteit leer) harus dibuktikan perbuatan/tindakan pejabat yang bersangkutan terlebih dulu -sebab telah memenuhi unsur rumusan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor; kemudian adakah hubungan langsung dengan akibat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Untuk menemukan unsur-unsur tindak pidana dan juga hubungan sebab-akibatnya dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara bukan suatu pekerjaan yang mudah dan waktu yang singkat memerlukan kehati-hatian untuk mengkaji selain aspek hukum normatif juga faktor efisiensi dari kelanjutan proyek pembangunan infrastruktur terkait. Dalam konteks ini diperlukan analisis hukum baru yaitu analisis ekonomi tentang hukum pidana (economic analysis of criminal law). Analisis ekonomi ini dilandaskan pada prinsip: maksimisasi (maximization), keseimbangan (equilibrium), dan efisiensi(efficiency). Bertolak dari analisis ekonomi tersebut maka asas kesalahan seyogianya digabungkan dengan asas efisiensi menjadi tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top