Perpustakaan Masih Tetap Diminati Pengunjung
KE PERPUSTAKAAN | Anggur Nayra Agastya, 6 tahun, siswa kelas 1 SD Bambini Montesory sedang membaca ensklopedia anak di Perpustakaan Grhatama Pustaka Bantul DIY pada Minggu (15/10). Anak-anak seusia Nayra ramai mengunjungi perpus pada akhir pekan dan buku anak menjadi buku yang paling banyak dipinjam dari Perpustakaan Grhatama setelah buku fiksi (novel).
Akhir-akhir ini, masyarakat sering dilanda kecemasan menyaksikan kabar bohong atau hoax yang menguasai jejaring sosial. Tapi, coba tengok dunia buku, barangkali cemas tak akan kelewat berlebihan. Pasalnya, anak-anak berusia 10 tahun ke bawah ternyata sangat hobi membaca buku.
Calon pemimpin masa depan itu memiliki semangat menyerap ilmu pengetahuan dari tulisan di atas kertas yang statis meski kesehariannya telah memegang telepon pintar yang menyorongkan dunia gambar yang bergerak cepat dan terus dicemaskan karena disinyalir penuh hoax itu.
Di Perpustakaan Grhatama Pustaka DIY, perpustakaan terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berada di daerah Janti, Bantul, misalnya, setiap Sabtu dan Minggu selalu dipenuhi anak-anak yang diantar orang tuanya. Anak-anak ini tenggelam tak hanya dalam buku-buku cerita tipis itu, tapi juga ensiklopedia yang tebal.
Anggur Nayra Agastya, 6 tahun, misalnya, siswa kelas 1 SD Bambini Montessori School ini, pada Minggu (15/10) , menjadi salah satu bocah yang tenggelam dalam ensiklopedia ilmu bumi. Ia datang diantar Budhe (kakak ibunya). Koran Jakarta mendengar bagaimana Budhe menjawab pertanyaan-pertanyaan Nayra mengenai materi yang ada di ensklipedia itu.
"Jadi, kalau Gunung Merapi meletus, Nay harus mengungsi? Boleh bawa buku nggak? Terus, rumahnya gimana, apa nggak kasihan ditinggal?" tanya Nay.
Budhe menerangkan bahwa buku boleh dibawa dengan catatan barang-barang yang paling diperlukan sudah bisa dibawa dulu.
"Apa yang Nayra perlukan setiap hari? Sebagai makhluk hidup perlu apa?" tanya Budhe kepada Nay.
Nay mulai mengerti bahwa yang diperlukan adalah bahan makanan, baju ganti, dan alat mandi. Tapi, Nay tetap ngotot bahwa ia akan membawa buku karena kalau tidak ia akan sangat bosan.
Firdaus, siswa kelas 2 SD Banguntapan Bantul, pada siang itu juga melahap banyak bacaan. Ia bisa seminggu dua kali ke Perpustakaan Grhatama Pustaka. "Kalau beli buku kan mahal, di sini nggak perlu bayar," kata Firdaus.
Sementara di lantai 2 dan 3, ratusan remaja berjejal di ruang-ruang perpustakaan atau selonjoran di beranda beralas rumput sintetis dengan laptop menyala. Di Grhatama, Wifi lumayan kencang sehingga pengunjung yang mayoritas mahasiswa ini banyak memanfaatkannya untuk mencari bahan belajar di internet. Di beberapa sudut, segerombol mahasiswa juga tampak terlibat dalam debat panas.
"Saya sedang menyiapkan riset untuk mengajukan scholarship ke Jepang," kata Ida, remaja 23 tahun yang baru saja lulus dari jurusan Pendidikan Tata Busana, Universitas Negeri Yogyakarta itu. Ida mengaku hampir setiap hari ke Grhatama karena tempatnya yang nyaman dan koleksi bukunya bisa diandalkan untuk kebutuhannya saat ini.
Ida ingin mengajukan beasiswa S-2 pendidikan di Jepang, beberapa seniornya di kampus sudah diterima di sejumlah universitas di Jepang.
Pustakawan Grhatama Pustaka, Hadi Pranoto, mengatakan tingkat kunjungan memang terus melonjak dalam setahun terakhir. Perpustakaan ini selain karena merupakan perpustakaan terbesar di DIY yang tempatnya nyaman, juga buka di hari Minggu sehingga memudahkan pengunjung untuk mengakses buku-buku.
Di Grhatama, kategori fiksi (novel) menjadi buku yang paling banyak dipinjam disusul oleh kategori umum. Dalam kategori umum ini buku anak menjadi buku yang paling banyak dipinjam. Data tersebut sebenarnya paralel dengan data yang dikeluarkan IKAPI 2016 dimana buku fiksi menempati penjualan buku terbanyak yang disusul oleh buku anak.
Dalam Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017 di Jakarta Agustus lalu, buku fiksi dan buku anak jadi 2 teratas penjualannya disusul oleh buku-buku agama Islam.
Remaja dan anak-anak, meski dianggap sebagai generasi yang lebih dulu mengenal telepon pintar ketimbang yang lainnya ternyata masih mencintai dunia buku. Negara dan masyarakat hanya perlu memastikan bahwa kualitas buku yang beredar terus meningkat. "Dengan itu kita tak perlu lagi khawatir dengan hari depan," pungkasnya. n YK/E-3
Komentar
()Muat lainnya