Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Belanja di Kementerian/Lembaga Harus Lebih Diefisienkan

Perlu "Political Will" Menagih Piutang BLBI

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan - Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

» Belum pernah ada pembahasan antara Presiden dan DPR untuk menghapusbukukan piutang BLBI, sehingga wajib ditagih menurut UU Perbendaharaan Negara.

» Pemerintah seharusnya mulai mengurangi kebergantungan pembiayaan defisit anggaran dari penarikan utang baru.

JAKARTA - Di tengah membengkaknya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat turunnya penerimaan pajak dan meningkatnya pembiayaan, pemerintah malah tetap memilih menarik utang baru untuk pembiayaan.

Padahal, pemerintah sebenarnya punya piutang negara yang wajib ditagih, yaitu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterima beberapa konglomerat saat krisis 1998 lalu dan kini mereka sudah kaya raya, namun mengabaikan tunggakannya kepada negara.

Kewajiban negara menagih piutang juga ditegaskan dalam UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pada Bab V Pengelolan Piutang dan Utang Negara, tepatnya Pasal 37. Pasal tersebut menyebutkan penghapus bukuan piutang negara ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk nilai piutang sampai dengan 10 miliar rupiah. Sedangkan nilai lebih dari 10 miliar rupiah hingga 100 miliar rupiah oleh Presiden dan lebih dari 100 miliar rupiah penghapusannya oleh Presiden, tetapi harus mendapat persetujuan DPR.

Sementara likuiditas talangan yang diterima para obligor nilainya triliunan rupiah dan belum pernah ada pembahasan untuk menghapus antara Presiden dan DPR, sehingga wajib ditagih.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, mengatakan perlunya political will (kemauan politik) pemerintah sebagai kunci menuntaskan hak tagih utang BLBI.

"Pemerintah seharusnya mulai mengurangi kebergantungan pembiayaan defisit anggaran dengan menarik utang baru karena dampaknya akan membebani fiskal dalam jangka menengah dan panjang," kata Misbah, di Jakarta, Minggu (10/1).

Kalau melihat sikap pemerintah, Misbah menyatakan sangat sulit berharap ada upaya penagihan karena aparat penegak hukum pun sepertinya kurang memberi perhatian pada kasus BLBI padahal nilainya sangat fantastis. Selain itu, akibat dari pemberian dana talangan BLBI, pemerintah saat itu menerbitkan surat utang rekapitalisasi (rekap bonds) yang kini bunga berbunga dan terus membebani anggaran.

"Dukungan dari aparat penegak hukum juga penting dan berpengaruh dalam kelancaran penagihan piutang itu. Dari periode ke periode di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepertinya tidak ada kemauan untuk mengusut kasus BLBI lebih jauh. Mungkin karena menyangkut power yang lebih besar," kata Misbah.

Peneliti Seknas Fitra lainnya, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah harus serius dan jangan setengah hati menagih piutang BLBI ke beberapa konglomerat yang kini seolah sulit disentuh.

Pemerintah, jelasnya, harus fokus menarik piutang tersebut untuk membiayai defisit anggaran, ketimbang menarik utang baru lagi.

Dalam APBN 2021, defisit masih ditargetkan sebesar 971,2 triliun rupiah atau 5,50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi tersebut tidak berbeda dengan APBN 2020 menurut Perpres 72/2020 di mana realisasi defisit APBN mencapai 956,3 triliun rupiah atau 6,09 persen terhadap PDB. Sedangkan jumlah pembiayaan atau penarikan utang baru pada tahun lalu mencapai 1.226,8 triliun rupiah.

"Seharusnya optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja dilakukan terlebih dahulu sebelum memilih opsi defisit," tegas Badiul.

Harus Kompak

Secara terpisah, Peneliti Ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Irawan, mengatakan penagihan piutang negara BLBI sangat tepat untuk menutup defisit dalam jangka panjang.

Agar bisa terlaksana dengan baik, Fajar mengimbau Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) harus kompak. "Selama ini kan terkesan kurang kompak kolaborasi di antara keduanya. Jadi, optimalisasi kedua lembaga tersebut sangat sentral dalam hal penagihan ini. Karena memang ranahnya mereka," kata Fajar.

Selain kemauan dari Menteri Keuangan selaku bendahara negara, Fajar juga memandang penting melibatkan KPK yang memproses dari ranah hukum.

n ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top