Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Konferensi Perubahan Iklim - COP24 Hasilkan “Rulebook” Jalankan Kesepakatan Paris

Perlu Komitmen Kuat Pangkas Emisi Karbon

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia mesti konsisten menjalankan komitmen soal pengurangan emisi karbon seperti yang disepakati pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-24 atau Conference of Parties (COP) 24 di Katowice, Polandia, Minggu (16/12). Oleh karena itu, Indonesia perlu segera beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) dan menghilangkan peraturan yang justru menghambat, misalnya pembangunan pembangkit listrik dengan energi kotor seperti batu bara.

Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, mengatakan kesepakatan COP24 menghasilkan panduan atau rulebook untuk menjalankan Kesepakatan Paris mengenai pengurangan emisi karbon, sehingga pemerintah tinggal melaksanakan. "Jadi, jangan hanya omongan, tapi harus dilaksanakan. Indonesia biasanya selalu komitmen, tapi pelaksanaan tidak ada," ujar dia, di Jakarta, Minggu.

Romadhon menambahkan dengan adanya rulebook maka upaya pelaksanaan pengurangan emisi karbon akan ditagih. Saat ini, Tiongkok sudah melarang impor batu bara di bawah 5.000 kalori, tapi Indonesia justru menggunakan yang 3.000 kalori.

Secara terpisah, dosen Teknik Pertambangan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, M Sigit Cahyono, menilai kesiapan Indonesia untuk meratifikasi setiap perjanjian memang tidak perlu diragukan. Namun, pada taraf implementasi sulit diwujudkan karena rendahnya kemauan politik.

Menurut dia, tanpa adanya upaya serius untuk mendorong penggunaan energi bersih menyebabkan implementasi bauran EBT saat ini masih di bawah 10 persen. Padahal, pemerintah menargetkan pada 2025 sebesar 23 persen. "Ini masih jauh sekali. Artinya, nampak di sini pemerintah nggak serius mengembangkan energi baru terbarukan," kata dia.

Memenuhi Janji

Setelah melalui perundingan alot antara negara maju dan berkembang selama dua minggu, COP 24 di Katowice, Polandia, Minggu, berhasil menelurkan kesepakatan untuk menjalankan perjanjian iklim Kesepakatan Paris pada 2020. Sekitar 200 delegasi yakin aturan baru dalam kesepakatan itu memastikan bahwa negara- negara akan memenuhi janji untuk memangkas emisi karbon.

Mereka telah selesai menyusun panduan operasional atau Katowice Rulebook, yang dirancang untuk mencapai tujuan pembatasan kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celsius, sesuai target Kesepakatan Paris 2015. "Menyusun program kerja Kesepakatan Paris adalah tanggung jawab besar. Ini adalah jalan yang panjang.

Kami melakukan yang terbaik agar tidak ada yang tertinggal di belakang," kata Presiden COP24, Michal Kurtyka, Minggu. Konferensi Perubahan Iklim di Paris pada 2015 atau COP 21 menghasilkan Kesepakatan Paris. Sejumlah poin yang disepakati di antaranya mengurangi emisi karbon untuk menekan kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan diupayakan hingga 1,5 derajat Celsius hingga menyediakan bantuan bagi negara berkembang untuk mendanai upaya mengerem kenaikan suhu.

Konferensi tersebut mengamanatkan bahwa tenggat untuk membuat panduan operasional kesepakatan tersebut adalah pada COP 24. Namun, sejumlah negara yang menderita akibat bencana dari dampak perubahan iklim menilai paket kesepakatan dari kota pertambangan, Katowice, itu belum cukup berani untuk mewujudkan kadar pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia.

"Kebutuhan adaptasi yang mendesak dari kelompok negara berkembang dalam rulebook, terdegradasi menjadi prioritas kelas dua," kata Duta besar Mesir, Wael Aboulmagd, yang menjadi ketua dari kelompok negara-negara berkembang G77.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenpeace, Jennifer Morgan, mengungkapkan keprihatinannya atas nasib negara berkembang yang dikalahkan oleh kepentingan ekonomi negara maju. Teks keputusan terakhir berulang kali ditunda, karena para delegasi mencari acuan yang dapat menangkal ancaman terburuk akibat pemanasan bumi, sekaligus agar bisa melindungi ekonomi negara kaya dan miskin.

"Tanpa buku aturan yang jelas, kami tidak akan mengetahui, apakah mereka benar-benar melakukan apa yang mereka katakan telah dilakukan," kata Menteri Lingkungan Kanada, Catherine McKenna.

AFP/SB/ahm/ers/WP

Penulis : AFP, Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top