Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ancaman Kelaparan

Perkuat Kedaulatan Pangan agar Krisis di Sudan Tidak Terjadi di Indonesia

Foto : ISTIMEWA

Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Stephane Dujarric

A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON - Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Stephane Dujarric, pada Selasa (23/7), di Washington, menyatakan kekhawatirannya mengenai situasi pangan yang memburuk di Sudan.

Dia mengatakan hampir 26 juta orang, baik pria, perempuan, dan anak-anak mengalami kelaparan akut yang kalau dibandingkan, jumlah tersebut setara dengan seluruh populasi Australia.

"Dari 26 juta orang tersebut, 750 ribu orang hanya tinggal selangkah lagi mengalami kelaparan yang bagi kami berarti fase 5 IPC (Keamanan Pangan Terpadu). Orang-orang di Sudan menghadapi "skenario terburuk," tambahnya.

Sudan didera pertempuran antara tentara yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, Kepala Dewan Berdaulat yang berkuasa, dan kelompok paramiliter Pasukan Reaksi Cepat (RSF) yang dipimpin mantan wakilnya, Mohamed Hamdan Daglo.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya, mengaku prihatin dengan situasi pangan di Sudan yang semakin memburuk, sambil menekankan pentingnya peningkatan kualitas kedaulatan pangan di Indonesia.

Menurut Dwijono, situasi di Sudan seharusnya menjadi peringatan bagi Indonesia untuk memperkuat kedaulatan pangannya.

"Kedaulatan pangan bukan hanya tentang ketersediaan pangan, tetapi juga tentang kemampuan suatu negara untuk memproduksi dan menyediakan pangan bagi seluruh rakyatnya secara berkelanjutan dan berkualitas," jelas Dwijono.

Indonesia sebagai negara agraris dengan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar untuk mencapai kedaulatan pangan. Namun, tantangan yang dihadapi cukup kompleks, mulai dari perubahan iklim, alih fungsi lahan pertanian, hingga kebergantungan pada impor pangan.

"Perubahan iklim telah mempengaruhi pola tanam dan hasil produksi pertanian. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan juga mengurangi luas lahan produktif. Selain itu, ketergantungan pada impor pangan membuat kita rentan terhadap fluktuasi harga pangan global," paparnya.

Pemerintah, tambah Dwijono, perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi pangan lokal dan mengurangi kebergantungan pada impor.

"Pemerintah harus fokus pada peningkatan produktivitas pertanian melalui teknologi pertanian yang inovatif, peningkatan kapasitas petani, serta perlindungan lahan pertanian. Selain itu, diversifikasi pangan lokal juga harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas," tandasnya.

Demokratisasi Pangan

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan RI harus mengantisipasi agar tidak dilanda krisis seperti di Sudan. Sebab itu, kedaulatan pangan perlu diwujudkan melalui demokratisasi pangan, melalui reforma agraria serta peningkatan produksi pangan rakyat.

Selain itu, juga perlu membenahi distribusi dan tata niaga, serta mengonsumsi pangan lokal. "Hentikan liberalisasi pertanian dan pangan, karena liberalisasi membuat pangan rakyat tidak bisa berkembang. Liberalisasi itu melalui banyaknya regulasi yang mendorong impor pangan oleh swasta," kata Awan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top