Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan I Pemerintah Jangan Terbuai oleh Kenaikan “Rating” Utang

Peringkat Utang RI Naik ketika Sektor Riil Melemah

Foto : Sumber: BPS, BI - Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

>>RI bisa cegah krisis, tapi harus berjuang keras tekan impor pangan dan konsumsi.

>>Tidak ada negara berkembang yang bisa bangkit tanpa dukungan kuat dari negara.

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai kenaikan peringkat surat utang Indonesia oleh Moody's terjadi di tengah tren melemahnya kinerja sektor riil, seperti kebergantungan yang tinggi pada impor pangan, barang konsumsi, dan bahan baku industri.

Bahkan, neraca perdagangan mencatat defisit dalam tiga bulan terakhir. Oleh karena itu, kenaikan rating tersebut diharapkan tidak membuai pemerintah melupakan kewaspadaan dan berupaya untuk menghindari krisis dengan memperkuat fondasi ekonomi.

Indonesia bisa mencegah krisis keuangan dengan perjuangan dan tekad yang kuat untuk memperkokoh sektor industri nasional serta mengurangi kebergantungan yang sangat tinggi pada impor.

Seperti dikabarkan, lembaga pemeringkat Moody's Investor Service, akhir pekan lalu, menaikkan peringkat (rating) utang domestik dan luar negeri Indonesia menjadi Baa2 dengan outlook stabil dari sebelumnya Baa3 dengan outlook positif.

Peneliti Indef, Achmad Heri Firdaus, mengatakan kenaikan peringkat utang Indonesia itu jangan membuat pemerintah terbuai. Sebab, hal itu justru membuat pemerintah tidak waspada untuk mencegah terjadinya krisis.

Padahal, rating itu naik ketika perekonomian nasional menghadapi pelemahan di sektor riil, perbankan, dan munculnya sejumlah defisit seperti defisit perdagangan.

"Indonesia bisa belajar dari krisis 2008 di AS (Amerika Serikat). Seharusnya jika mereka realistis, bisa menghindari krisis. Tapi karena dibuai dengan rating maka mereka tutup mata," kata Heri, saat dihubungi, Minggu (15/4).

Contohnya, lanjut dia, kasus Enron yang mendapat peringkat triple A dari Moody's tepat sebelum perusahaan itu bangkrut.

Menurut Heri, dari kejadian di AS itu bisa diambil pelajaran bahwa krisis finansial bisa dicegah dengan kebijakan yang komprehensif dan holistik untuk memperkuat fondasi sektor riil, menghapus kebergantungan impor, serta memanfaatkan dana dalam negeri untuk kegiatan produktif. Setiap satu rupiah yang ditanamkan bisa menghasilkan dua rupiah.

Inilah pertumbuhan yang sebenarnya. Sementara itu, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Trunojoyo Madura, Nizarul Alim, mengungkapkan beberapa masalah dalam sektor riil Indonesia terutama adalah impor yang tinggi sehingga menurunkan daya saing, serta biaya ekonomi tinggi karena kebijakan yang belum pro-industri dalam negeri.

Nizarul menambahkan impor pangan mencapai 12 miliar- 15 miliar dollar AS per tahun.

Indonesia impor mulai dari tepung singkong, beras, gula, dan garam. Produksi nasional dikalahkan produk impor yang dianggap lebih murah. Padahal, sebenarnya tidak murah karena dalam jangka panjang devisa negara bisa jebol.

"Tidak ada daya saing karena dimatikan dengan pangan impor dengan dalih meredam inflasi. Apakah inflasi benarbenar turun kalau rupiah melemah. Akhirnya, impor juga lebih mahal," tukas dia.

Butuh Komitmen

Masalah lain, lanjut Nizarul, industri di sektor riil juga banyak bergantung bahan baku impor karena tidak diproduksi di dalam negeri. Impor komponen membanjir sehingga nilai tambah produk Indonesia kecil.

"Kualitas produknya juga rendah, industri tidak mampu bersaing. Lantas, bagaimana kita mau mengakumulasi devisa agar defisit transaksi berjalan kita bukan cuma turun, tapi positif."

Hal ini terutama disebabkan tidak ada kebijakan yang komprehensif dan holistik. Padahal, tidak ada negara berkembang yang bisa bangkit dan maju tanpa dukungan komitmen kuat dari negara untuk membangun industri yang berdaya saing. Amerika Serikat sebagai negara adi daya pun tidak nyaman dengan defisit perdagangan terutama dengan Tiongkok.

Presiden Donald Trump berpikir sederhana, diblokir dengan tarif impor hingga 30 persen. Tiongkok menawarkan penurunan defisit dari 250 miliar dollar AS menjadi 50 miliar dollar AS, tapi Trump menolak. Dia ingin tidak ada defisit.

"Bagaimana dengan Indonesia. Pemerintah justru memboroskan devisa untuk impor. Padahal, tanpa kepastian hukum, dana asing tidak akan nyaman sehingga rentan terjadi capital flight," imbuh Nizarul.

Selain impor pangan, kata dia, impor otomotif yang sebenarnya termasuk barang konsumsi bisa mencapai 15 miliar dollar AS setahun, dan tarif impornya justru diturunkan. "Kita menutup defisit anggaran dengan utang.

Padahal, sekarang ini hanya bayar bunga saja mencapai 250 triliun rupiah setahun, ditutup dengan utang lagi karena tidak ada anggarannya." Di sisi lain, perbankan yang semestinya menjalankan fungsi intermediasi untuk sektor riil justru cenderung ke sektor properti seperti mal dan apartemen mewah, hingga mencapai 800 triliun rupiah. ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top