Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
EDISI KHUSUS KEMERDEKAAN

Percuma Mendidik, Anaknya Pinter tapi "Nyolongan"

Foto : KORAN JAKARTA/SELOCAHYO

BERSAMA ANAK ASUH | Penggagas pendidikan sekolah untuk anak kurang mampu, Liana Christanty (kiri) bersama salah satu anak asuh, di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (13/8).

A   A   A   Pengaturan Font

Meskipun pemerintah bersama DPR telah meningkatkan anggaran pendidikan hingga 20 persen, namun sampai hari ini masih banyak anak Indonesia yang belum menikmati bangku sekolah atau harus putus sekolah di tengah jalan. Kemiskinan dan kepedulian orang tua masih menjadi kendala klasik bagi dunia pendidikan nasional.

Namun, di tengah krisis ekonomi dan kesibukan setiap orang menghadapi masalah mereka, ternyata masih ada sebagian anggota masyarakat yang mau memikirkan nasib orang lain. Dia adalah Liana Christanty (60 tahun), warga kawasan Simpang Darmo Permai, Surabaya, yang tergerak bangkit untuk memperbaiki pendidikan anak-anak.

Selama ini, wanita kelahiran Jember itu dikenal sebagai aktivis sosial "Kota Pahlawan" melalui pendirian Pondok Hayat, sebuah fasilitas nirlaba untuk menampung para perempuan yang hamil di luar nikah, dan membantu kelahiran bayi-bayi mereka. Sejak 2008, Liana bersama teman-temannya membuka TK dan SD Pelita Permai di wilayah Sambikerep, Surabaya, yang dikhususkan untuk menampung anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Hingga kini, sebanyak 265 anak dapat menikmati pendidikan formal untuk tingkat TK dan SD, dengan bayaran sukarela. Sumbangsih Liana lewat Yayasan Kasih Pengharapan yang dia dirikan bagi dunia pendidikan tak hanya itu. Sejak dua tahun lalu, dia membuka lima Rumah Belajar dibeberapa lokasi. Rumah Belajar adalah fasilitas pendidikan nonformal untuk membantu pendampingan belajar anak kurang mampu.

Bimbingan Gratis

Sejak pagi hingga petang, anak-anak bebas datang untuk mendapatkan bimbingan pelajaran gratis yang diberikan oleh dua guru di setiap fasilitas itu. Liana bersama teman-temannya yang peduli juga membuka panti asuhan Rumah Anak Pelita Permai dan Panti Asuhan Pondok Hayat. Panti Asuhan Pondok Hayat dikhususkan untuk menampung anak-anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, sedangkan Rumah Anak Pelita Permai bagi anak kurang mampu.

Setiap bulan, Yayasan Kasih Pengharapan harus mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah untuk membantu menjamin keberlangsungan seluruh kegiatan sosial itu.

Liana menuturkan sekitar 80 persen dari siswa TK dan SD Pelita Permai adalah anak-anak kaum urban dari wilayah NTT, yang merantau ke Surabaya sejak puluhan tahun yang lalu dan hidup dalam keadaan miskin. Bersama anak-anak dari orang tua yang merantau dari Jatim lainnya, seperti Jember, Tuban, dan Madura, mereka mendapat fasilitas pengajaran, buku, dan seragam, dengan kewajiban bayar sukarela.

"Ada yang bayar seribu rupiah, dua ribu rupiah setiap bulan. Terserah yang penting mereka mau sekolah," ujar Liana, di Surabaya, Selasa (13/8).

Anak-anak tidak hanya mendapat pelajaran akademis, sekolah juga memberikan pendidikan karakter untuk melengkapi performa para siswa. Pendidikan karakter diberikan melalui pelajaran etika dan agama, serta pada setiap kesempatan tatap muka dengan guru.

Rumah Belajar banyak didirikan di kawasan pinggiran Surabaya Utara, di mana mayoritas warga adalah orang miskin yang kurang peduli dengan perkembangan anak. Menurut Liana, waktu after school atau di luar sekolah sangat penting bagi perkembangan anak karena lebih panjang dari waktu belajar di sekolah.

Keterlibatan Liana bersama teman-teman dalam pendidikan bermula secara tidak sengaja. Dia mengisahkan, saat berolahraga jalan pagi pada 2008, dia bertemu dengan tiga remaja di dekat lokasi pembuangan sampah, di Sambi Sari, Sambikerep, Surabaya. Lalu, ketiga anak yang tidak pernah mengenyam sekolah itu diajak ke rumah untuk sarapan nasi goreng.

"Setelah dibuatkan, sosisnya tidak dimakan. Setelah ditanya, 'ini mau dibawa pulang karena adik kami belum pernah makan sosis'. Di situ saya terenyuh, lalu mulai memberi makan anak-anak tidak mampu, setiap Sabtu," tutur Liana.

Guru yang Sabar

Liana melanjutkan, guru yang dipekerjakan adalah faktor kunci dalam keberhasilan pendidikan anak-anak tersebut. Apalagi bagi anak-anak miskin yang belum pernah mengenyam sekolah dan jauh dari pendidikan keluarga. Untuk itu, Liana, benar-benar mencari sosok guru yang sabar untuk tugas itu.

Terkait pemberian pendidikan karakter, ide itu bermula dari latar belakang keluarga para anak. Liana menyebut dalam tiga tahun pertama sekolah dibuka, banyak barang yang hilang di rumah atau di sekolah.

"Awal-awal sekolah berdiri di rumah, sepeda, sepatu, sandal hilang. Saya berpikir ini tidak benar, kalau hanya pendidikan akademis saja. Percuma mendidik, anaknya pinter tapi nyolongan. Dari situlah saya membangun kakakter mereka," ujarnya.

Pada tiga tahun pertama, banyak barang hilang. Setelah tahun keempat, tidak ada satu pun barang hilang. Sekarang komputer atau uang ditaruh keleleran aman. Ini menunjukkan karakter anak-anak dan ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah sudah berubah," paparnya.selocahyo/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top