Peran Dwibahasa Tunda Gejala Demensia
Foto: afp/ Karen MINASYANSebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti psikologi York University pada tahun 2020 lalu memberikan bukti baru bahwa bilingualisme dapat menunda gejala demensia.
Penyakit Alzheimer yang adalah bentuk demensia yang paling umum, mencapai 60 hingga 70 persen dari kasus demensia. Dari semua aktivitas yang memiliki manfaat neuroplastik, penggunaan bahasa adalah yang paling banyak menghabiskan waktu dalam sehari. Hal ini juga mengaktifkan daerah di seluruh otak.
Ellen Bialystok, Profesor Riset Terhormat di Departemen Psikologi, Fakultas Kesehatan York University, dan timnya menguji teori bahwa bilingualisme dapat meningkatkan cadangan kognitif dan dengan demikian menunda usia timbulnya gejala penyakit Alzheimer pada pasien usia lanjut.Penelitian mereka diyakini sebagai penelitian pertama yang menyelidiki waktu konversi dari gangguan kognitif ringan menjadi penyakit Alzheimer pada pasien monolingual dan bilingual.
Meskipun bilingualisme menunda timbulnya gejala, Bialystok mengatakan, setelah didiagnosis, penurunan menjadi penyakit Alzheimer yang parah jauh lebih cepat pada orang yang bilingual daripada orang yang monolingual karena penyakit ini lebih cepat berkembang.
"Bayangkan karung pasir yang menahan pintu air sungai. Pada suatu saat, sungai pastinya akan menang," kata Bialystok. "Cadangan kognitif menahan banjir dan pada saat mereka didiagnosis dengan gangguan kognitif ringan, mereka sudah memiliki patologi yang substansial, tetapi tidak ada bukti tentang hal itu karena mereka dapat berfungsi karena cadangan kognitif. Ketika mereka tidak dapat lagi melakukan hal ini, pintu air akan benar-benar tersapu bersih, sehingga mereka akan jatuh lebih cepat," papar dia.
Dalam penelitian selama lima tahun, para peneliti mengikuti 158 pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan kognitif ringan. Untuk penelitian ini, mereka mengklasifikasikan orang yang bilingual memiliki cadangan kognitif yang tinggi dan orang yang monolingual memiliki cadangan kognitif yang rendah.
Pasien dicocokkan berdasarkan usia, pendidikan, dan tingkat kognitif pada saat didiagnosis mengalami gangguan kognitif ringan. Para peneliti mengikuti kunjungan mereka setiap enam bulan sekali di klinik memori rumah sakit untuk melihat titik di mana diagnosis berubah dari gangguan kognitif ringan menjadi penyakit Alzheimer.
Waktu konversi untuk bilingual, 1,8 tahun setelah diagnosis awal, secara signifikan lebih cepat dibandingkan dengan monolingual, yang membutuhkan waktu 2,6 tahun untuk berubah menjadi penyakit Alzheimer.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa pasien bilingual memiliki lebih banyak neuropatologi pada saat mereka didiagnosis dengan gangguan kognitif ringan dibandingkan dengan pasien monolingual, meskipun mereka menunjukkan tingkat fungsi kognitif yang sama.
Hasil ini berkontribusi pada semakin banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa seseorang dengan kemampuan dwibahasa lebih tangguh dalam menghadapi kemunduran saraf dibandingkan dengan monolingual. ils/I-1
Berita Trending
- 1 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 2 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 3 Krakatau Management Building Mulai Terapkan Konsep Bangunan Hijau
- 4 Kemenperin Usulkan Insentif bagi Industri yang Link and Match dengan IKM
- 5 Indonesia Bersama 127 Negara Soroti Dampak dan Ancaman Krisis Iklim pada Laut di COP29