Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketimpangan Pembangunan I Kemenkeu Targetkan Angka Kemiskinan Turun ke 7-8%

Penurunan Angka Kemiskinan Spasial Masih Sulit Diatasi

Foto : ISTIMEWA

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah mengakui jika penurunan angka kemiskinan di Indonesia secara spasial masih menjadi tantangan besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI di Jakarta, Selasa (11/6), mengatakan di mayoritas provinsi, angka kemiskinan telah berada di bawah level sebelum Covid-19.

Pulau Jawa dan Bali sendiri mengalami peningkatan angka kemiskinan pada tahun 2019 dan 2023. Pulau Jawa menunjukkan peningkatan dari 8,4 persen menjadi 8,79 persen dan Pulau Bali dari 3,8 persen menjadi 4,25 persen.

Namun demikian, tingkat kemiskinan di Jawa dan Bali, papar Menkeu, berada di bawah level 10 persen. Sama halnya dengan Kalimantan dan Sumatra yang juga mencatatkan tingkat kemiskinan di bawah 10 persen. Sementara pulau lainnya masih melampaui level tersebut.

Tingkat kemiskinan tertinggi terjadi di Papua dan Nusa Tenggara, masing-masing sebesar 24,76 persen dan 16,99 persen pada 2023. Sedangkan tingkat kemiskinan di Maluku tercatat pada level 12,29 persen dan Sulawesi 10,08 persen.

Pemerintah terus berupaya menekan tingkat kemiskinan, terutama seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2025, Kementerian Keuangan menargetkan tingkat kemiskinan secara nasional dapat ditekan hingga ke level 7 sampai 8 persen, dari data terakhir 9,36 persen pada 2023 dengan menganggarkan dana dari APBN berkisar 496,9 triliun hingga 513,0 triliun rupiah.

Anggaran rencananya akan digunakan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan antardaerah. Adapun langkah yang akan ditempuh, di antaranya mempercepat graduasi pengentasan kemiskinan, peningkatan akses pembiayaan untuk rumah layak huni dan terjangkau, mendorong petani makmur, nelayan sejahtera, termasuk mempercepat desa mandiri.

Menanggapi hal itu, Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan langkah paling realistis untuk menjawab persoalan tantangan kemiskinan di Indonesia adalah dengan melakukan pemberian subsidi berupa aset karena memiliki sifat yang berkelanjutan.

"Faktor penyebab kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, dengan dikuasainya usaha-usaha oleh kaum elite, sehingga menghalangi kesempatan masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk naik," katanya.

Cara yang paling realistis dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah dengan melakukan pemberian subsidi berupa aset, bukan dana modal yang cepat habis. Aset merupakan bantuan yang tepat untuk memutar perekonomian kaum menengah ke bawah karena lebih sustainable. Pembagian subsidi tersebut harus didukung proses pendataan yang valid supaya jangan salah sasaran.

Dari Jakarta, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan kalau kita berbicara kemiskinan dan pola spasial, memang pendekatan kebijakannya lebih kompleks karena intervensi kebijakan tidak hanya dilakukan dari sisi pemerintah pusat, tetapi juga aktifnya pemerintah daerah.

Beberapa komponen belanja yang disalurkan oleh pemerintah pusat sebenarnya memang mencoba menjadi solusi terkait permasalahan kemiskinan terutama dalam sisi spasial. Namun demikian, dalam konteks terbatasnya ruang fiskal di level pusat, pada akhirnya pemerintah daerah pun harus siaga untuk merancang kebijakan lokal fiskal untuk memitigasi masalah kemiskinan tersebut.

Belanja pemerintah daerah (pemda) pun harus dirancang linear dengan kebijakan pemerintah pusat terkait penanganan kemiskinan.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, mengatakan penurunan tingkat kemiskinan spasial menjadi tantangan yang cukup berat untuk diperbaiki, karena pengalaman pembangunan yang selama ini berorientasi ke Jawa atau Indonesia bagian barat.

Penyebaran sumber daya manusia, orientasi jumlah penduduk sebagai potensi permintaan juga tidak merata. "Salah satu penyebabnya adalah keberadaan infrastruktur," tegasnya.

Dia pun berharap pemerintah ke depan perencanaannya industrialisasi dan penyebaran pembangunan infrastruktur, akan menjadi perbaikan pemerataan spasial.

Ketimpangan Antarsektor

Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana, mengingatkan Menkeu jangan hanya melihat tingkat kemiskinan per daerah, tapi juga melihat per sektor. Selama ini ketimpangan ekonomi tidak saja terjadi antarwilayah, namun juga antarsektor.

"Di Jawa, ekonomi kota tumbuh oleh pembangunan infrastruktur, perumahan, dan perdagangan. Tapi lihat di lingkungan perdesaan nelayan. Kemiskinan masih menjadi masalah besar bagi nelayan di daerah-daerah tersebut, yang sampai hari ini menjadi kantong kemiskinan di Indonesia," kata Budi.

Mengutip data statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Budi mengatakan tingkat kemiskinan nelayan di Indonesia masih mencapai 25,14 persen pada 2023, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang berada di angka 9,54 persen.

Di daerah pesisir seperti Nusa Tenggara Timur dan Maluku, tingkat kemiskinan nelayan bahkan mencapai lebih dari 30 persen.

Menurut Budi, ekonomi secara makro belum sepenuhnya berpihak pada produksi nelayan. Kebijakan ekonomi saat ini lebih banyak menguntungkan sektor perkotaan, sementara nelayan yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan laut justru terpinggirkan. Dampaknya, nelayan di daerah-daerah pesisir, terutama di luar Pulau Jawa dan Bali, masih bergulat dengan kemiskinan yang parah.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top