Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Energi Baru Terbarukan I Ego PLN Harus Ditekan demi Percepatan Transisi ke EBT

Pengembangan Tenaga Surya RI Tertinggal di Asean

Foto : ISTIMEWA

Kementerian ESDM - Total kapasitas terpasang PLTS Atap di Indonesia per September 2021 baru mencapai 194 MW, masih jauh dari potensi yang ada sebesar 3.294 GW.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pengembangan kapasitas Pembangkit Energi Surya di Indonesia dinilai sangat tertinggal dibanding dengan beberapa negara Asia Tenggara (Asean), seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, bahkan dengan Filipina. Tertinggalnya Indonesia dibanding negara-negara tetangga itu karena banyak regulasi yang menghambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT), terutama dari kelompok-kelompok pengusaha batu bara yang berupaya memengaruhi pemerintah.

Berdasarkan data International Renewable Energy Agency (Irena), sampai dengan 2020, total kapasitas energi surya Indonesia baru mencapai 172 megawatt (MW), jauh tertinggal dari Vietnam yang sudah mencapai 16.504 MW, Thailand 2.988 MW, Malaysia 1.493 MW, da Filipina 1.048 MW. Bahkan Indonesia masih kalah dengan Singapura dan Kamboja yang masing-masing total kapasitasnya 329 MW dan 208 MW.

Sementara itu, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan total kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Indonesia per September 2021 baru mencapai 194 megawatt (MW) atau masih jauh dari potensi yang ada sebesar 3.294 gigawatt (GW).

Padahal, potensi energi surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan tiga daerah yang potensinya sangat besar, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kapasitas 369,5 GWp, Riau 290,41 GWp, dan Sumatera Selatan 285,18 GWp.

Pengamat Energi yang juga sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, di Jakarta, Jumat (27/1), menegaskan tertinggalnya Indonesia dibanding negara-negara Asean karena pengembangan PLTS sangat bergantung pada PLN sebagai penyedia pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) dan juga single off taker listrik swasta.

Vietnam, terang Fabby, bisa cepat mengembangkan Photovoltaic (PV) karena selain Feed-in Tariff (FiT), ada juga kebijakan Direct PPA (Power Purchase Agreement) yang mana konsumen industri bisa punya kontrak pembelian listrik secara langsung dengan pengembang energi terbarukan dan menggunakan transmisi EVN (PLN-nya Vietnam) untuk evakuasi daya. Skema tersebut, jelasnya, mirip dengan skema Power Wheeling.

Skema Power Wheeling, papar Fabby, jelas membuka kesempatan pembelian langsung dari pelanggan industri terhadap pengembang EBT. "Namun demikian, tidak cukup kalau tidak ada perubahan aturan bahwa konsumen bisa membeli listrik langsung dari pengembang non-PLN. Non-PLN itu artinya juga untuk subholding PLN yang membangun pembangkit sendiri atau bermitra dengan swasta," katanya.

Ketidakpastian Investasi

Lambatnya instalasi energi surya serta pencabutan skema Power Wheeling dalam RUU EBT menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudishthira, karena ketidakjelasan mekanisme ekspor listrik rumah tangga, dan pembangkit kecil EBT ke PLN dalam RUU EBT. Hal itu menimbulkan ketidakpastian investasi panel surya.

Penentuan harga yang dilakukan sepihak oleh pemerintah apabila terjadi deadlock dengan badan usaha juga membuat harga jual listrik kurang menarik. "Banyak poin dalam RUU EBT lebih berpihak pada PLN bukan pada pengembangan panel surya atap," tegas Bhima.

Berbagi transmisi dalam skema power wheeling sebenarnya menguntungkan konsumen akhir. Tetapi, PLN merasa hal itu merugikan karena uang pembangunan transmisi pakai dana PLN, padahal sebenarnya itu uang APBN.

"Ego PLN harus ditekan demi percepatan transisi ke EBT," tukas Bhima.

Secara terpisah, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, sekaligus Presiden Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiis), Andy Fefta Wijaya, mengatakan pemerintah harus memberikan kemudahan dan instentif terhadap pengembangan pemanfaatan energi terbarukan demi keberlanjutan lingkungan. Ketegasan pemerintah diperlukan karena pemain batu bara ini termasuk orang-orang di lingkaran kekuasaan.

"Indonesia sangat tertinggal dibandingkan Vietnam dalam pemanfaatan instalasi tenaga surya. Padahal, teknologi ini merupakan industri hijau yang ramah lingkungan dan sangat didorong agar keberlanjutan lingkungan tetap terjaga," kata Andy.

Pemerintah, katanya, harus memberi kemudahan pelayanan perizinan, kepastian regulasi investasi dan insentif bagi investor dan konsumen dalam sektor instalasi tenaga surya. Di sisi lain, pemerintah seharusnya mengenakan tarif pajak lingkungan yang besar untuk industri yang masih memanfaatkan batu bara seperti PLTU karena pencemaran emisi karbonnya merusak lingkungan.

Pajak itu perlu sebagai biaya untuk memulihkan lingkungan yang membutuhkan anggaran cukup besar.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top