Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si.,M.Si.,Ph.D.Med.Sc

Pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia Butuh "Roadmap"

Foto : ISTIMEWA

Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si.,M.Si.,Ph.D.Med.Sc

A   A   A   Pengaturan Font

Berbagai program dan target diluncurkan untuk mencapai hal tersebut seperti penurunan stunting, transformasi layanan kesehatan, dan transformasi di sektor pendidikan.

Di sektor pendidikan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, meluncurkan banyak episode kebijakan dalam payung Merdeka Belajar. Salah satunya adalah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang memberikan keleluasaan bagi mahasiswa belajar di luar kampus dengan pengakuan Satuan Kredit Semester (SKS). Dua tahun MBKM berjalan, sudah 100 ribu mahasiswa yang berasal dari 2.600 perguruan tinggi di 35 provinsi terlibat dalam program tersebut.

Perguruan tinggi memang memegang peranan penting dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan menjadi bagian langsung dalam pembangunan melalui kegiatan pendidikan, pengabdian, dan penelitian. Untuk itu, melihat proses pengembangan SDM yang terkait perguruan tinggi, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Ma'rup, mewawancarai Rektor Universitas Brawijaya (UB), Prof. Widodo, S.Si.,M.Si.,Ph.D.Med.Sc. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan Anda tentang proses dan progres pengembangan SDM di Indonesia khususnya yang terkait dengan pendidikan tinggi?

Dengan terbentuknya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai endowment fund untuk pendidikan dan riset di Indonesia, sudah luar biasa. Kedua, melalui anggaran kementeriannya juga pendanaan sudah cukup besar untuk membangun SDM Indonesia.

Ada beberapa hal yang mungkin sangat strategis harus disusun pemerintah ke depan. Pertama adalah roadmap atau peta jalan pengembangan SDM berdasarkan jenis kepakaran dan jumlah SDM yang dibutuhkan dalam membangun industri-industri strategis Indonesia berbasis kekayaan Indonesia.

Selain belum adanya roadmap, apa ada tantangan lain dalam pengembangan SDM?

Tantangan ada dua hal penting. Pertama, bagaimana ada roadmap pengembangan SDM yang lebih terintegrasi dengan roadmap pengembangan industri Indonesia. Kedua, pendidikan itu membangun karakter menjadi bagian penting. Pendidikan dini sampai pendidikan menengah akan lebih bagus difokuskan pada membangun karakter masyarakat Indonesia.

Jadi, pendidikan tidak sekadar hanya memenuhi pemenuhan materi ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan mudah sekali diperoleh melalui berbagai media, tidak hanya di sekolah. Jadi, sekolah turut membangun budaya dan cara berpikir yang lebih ke arah pengembangan soft skill atau karakteristik dari manusia Indonesia.

Pada saat di perguruan tinggi, barulah materi esensial mengembangkan academic skill, soft skill, dan keahlian-keahlian yang in lining atau sesuai dengan roadmap pengembangan SDM di Indonesia. Tentunya kalau kita ingin berkelanjutan, didasarkan kepada kekayaan alam kita sebagai modal, kedua eksplorasi kekayaan alam harus berkelanjutan, terutama memperhatikan lingkungan.

Kalau industri didasarkan pada sumber daya alam maka kita akan lebih mudah berkompetisi. Bagaimana kita bisa meletakkan pembangunan industri berbasis sumber daya alam (SDA) dan ketersediaan SDM maka program studi di perguruan tinggi akan in lining dengan kebutuhan SDM untuk menyokong perkembangan industri nasional Indonesia.

Seperti apa implementasi dari roadmap pengembangan SDM ini?

Sebagai contoh, Indonesia kaya dengan wilayah perkebunan sawit, tapi jadi ironi ada kelangkaan minyak goreng. Nah, itu bagaimana kemudian apa sih yang diperlukan untuk perkembangan pengelolaan industri kelapa sawit, SDM sarjana apa saja yang diperlukan, jumlahnya berapa, itu harus jelas. Kedua misalnya nikel, itu tidak boleh ekspor bahan baku. Harus terjaga, tapi siapa yang mengerjakan? SDA kita harus siap, industri siap, pengolahan sudah siap, tapi siapa yang mengerjakan? Itu butuh perhitungan-perhitungan.

Sehingga dari situ, perguruan tinggi harus menyiapkan terkait material sains berapa, teknik fisika, teknik kimia berapa. Itu sangat principal untuk pengembangan industri ke depan. Kalau kita hanya buat industrinya, kalau yang mengerjakannya tidak ada, ya SDM dari luar negeri akhirnya. Kita jadi penonton juga.

Jadi, pengembangan SDM harus in line dengan roadmap pengembangan industri di Indonesia. Industrialisasi kalau kita ingin sebar memiliki daya saing lebih kuat ketika industri bermodalkan SDA Indonesia.

Kira-kira untuk jangka waktu berapa lama roadmap ini?

Roadmap ini harus menyiapkan minimal dalam jangka waktu Indonesia Emas 2045. Akan lebih bagus kalau sampai sekian tahun ke depan, misal 30 tahun ke depan. Pendeknya 5 tahun ke depan. Jadi, ketika kita masuk ke Indonesia Emas 2045, SDM kita sudah sangat bagus in lining dengan infrastruktur dan persiapan-persiapan pengembangan industrialisasi di Indonesia berbasis kekayaan alam kita.

Kalau itu tidak ada, pengembangan industrinya bergerak ke arah A, SDM-nya banyak ke B, saya kira gak match. Itu jadi sangat penting ada in lining ke arah situ.

Roadmap ini terkesan sesuatu yang baku, sedangkan di perguruan tinggi sendiri ada Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Apakah keduanya tidak bertolak belakang?

Sebenarnya tidak bersebarangan. Bisa berjalan paralel. MBKM ini di antaranya bagaimana mahasiswa belajar tidak hanya fokus pada keilmuan yang ada di kampus, tapi juga mahasiswa bisa belajar dari Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang akan mengolah kemampuan mahasiswa untuk memahami apa yang diperlukan oleh DUDI. Ini jadi poin plus.

Pola pendidikan yang ada di perguruan tinggi dalam faktanya lebih cenderung ke arah akademik, pengetahuan, dan akademik lebih kepada filosofi pengembangan ilmu pengetahuan. Kadang-kadang tidak semua relevan dengan DUDI yang ada di zaman sekarang.

Bisa saja itu relevan dengan diimbangi penguatan teknologi ke depan. Sehingga perguruan tinggi ke depan lebih menyiapkan bagaimana generasi-genarsi yang ada sekarang memiliki kemampuan dan pengetahuan dasar untuk terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan belajar sepanjang hidup atau long life learning.

Setelah dua tahun lebih berjalan, menurut Anda apa saja yang harus dibenahi dan ditingkatkan dalam MBKM?

Konsepnya bagus, kita di UB sebelum ada MBKM sudah menyusun kurikulum yang mirip dengan MBKM itu. Kita melihat mahasiswa harus diekspos untuk bekerja sama dengan stakeholder pengguna alumni kita yaitu DUDI. Nah, so far setelah 2 tahun berjalan baik. Banyak sekali positifnya bisa kita peroleh.

Beberapa hal perlu ditingkatkan yaitu pertama, konsep-konsep dari Mas Menteri luar biasa progresif, ke depan perlu diimbangi dengan tata kelola administratif. Ini kadang-kadang belum bisa mengikuti lompatan-lompatan pemikiran dari kebijakan Mas Menteri, sehingga perlu in lining dengan tata kelola administrasinya.

Menurut Anda, bagaimana dengan proses keberlanjutan MKBM?

Saya kira konsepnya bagus, kita melihat ini sangat memungkinkan untuk terus dijalankan ke depan. Di UB sendiri karena mahasiswa kita banyak dan prodi kita banyak sekali, maka kita dorong semua prodi untuk ambil bagian di seluruh program MBKM itu, tergantung passion masing-masing. Ada yang kampus mengajar, ada kuliah ambil kredit di luar kampus, kerja dengan industri, membangun desa, keseluruhan kita fasilitasi sehingga kita melihat passion dari mahasiswa.

Pada prosesnya harus in lining dengan prodi yang diampu. Jangan sampai kegiatan-kegiatan MBKM tidak bisa direkognisi karena telah menjauh dengan keahlian bidang keilmuannya.

Kita ada pendampingan di setiap fakultas di level universitas ada tim MBKM. Ini memberikan panduan arahan bagaimana MBKM berlangung, termasuk merekognisi, dan membangun jejaring dengan DUDI sehingga mahasiswa terfasilitasi dengan program MBKM ini.

Salah satu visi Anda sebagai rektor adalah internasionalisasi kampus. Di sisi lain, Mas Menteri juga mendorong perguruan tinggi meningkat dalam ranking internasional. Bisa dijelaskan terkait internasionalisasi kampus tersebut?

Ranking itu salah satu cara bagaimana kita mengukur kualitas pendidikan kita. Jadi, itu bukan sesuatu yang urgent, tapi sebagai tolok ukur saja. Kita tidak fokus pada ranking, tapi aktivitas untuk memperbaiki sistem pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyrakat, sistem humas kita, dan kerja sama bersama kolega baik di dalam maupun luar negeri, khususnya di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

Perbaikan-perbaikan di lini itu diharapkan proses pendidikan di kampus berjalan lebih baik. Mahasiswanya bisa mendapatkan pengetahuan ilmu dan kultur menjadi lebih baik. Sehingga output-output kegiatan di universitas misal IPK bagus, TOEFL bagus, lulusnya juga tepat waktu, dan setelah lulus dia bisa bekerja. Penelitian juga begitu, publikasinya ada, patennya ada, dan kolaborasi dengan industri. Kita fokus pada itu sebenarnya.

Kita juga meningkatkan kualitas pendidikan kita agar diakui dunia internasional bahwa pendidikan kita juga setara dengan pendidikan di luar negeri. Kita masuk dalam program studi di samping terakreditasi oleh badan akreditasi di Indonesia juga terakreditasi oleh badan akreditasi internasional. Kalau sudah itu berarti kualitas pengajaran di tempat kita sudah diakui setara dengan pendidikan di luar negeri.

Untuk target internasionalisasi di UB seperti apa?

Targetnya tentu sistem pendidikan tata kelola universitas kita diakui oleh universitas. Kualitasnya bagus, salah satu indikator adalah kerja sama internasional kita meningkat. Jumlah prodi terakreditasi oleh lembaga internasional juga meningkat. Mahasiswa asing kita juga ada, tidak harus sekolah di kita, tapi mahasiswa luar negeri belajar dalam waktu tertentu semakin baik. Karya ilmiah dan dosen kita banyak diakui oleh orang-orang luar negeri.

Salah satu di antaranya, posisi universitas kita di beberapa pemeringkatan universitas bisa lebih baik. Banyak lembaga pemeringkatan itu.

Ada anggapan kolaborasi dengan industri mempersempit tujuan pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Bagaimana tanggapan Anda?

Menurut saya tidak tepat. Khusus perguruan tinggi di mana pun kolaborasi dengan industri menjadi kebutuhan mendasar. Perguruan tinggi ini diharapkan pada inovasi yang menghasilkan teknologi. Kalau tidak dipakai di industri, buat apa?

Kita berpartner dengan industri bukan hanya memenuhi kebutuhan industri, tapi berpartner menyelesaikan masalah-masalah di industri. Perguruan tinggi akan melakukan riset mendalam menghasilkan inovasi-inovasi menyelesaikan masalah yang ada. Justru nilai akademis dan pengabdiannya juga akan tinggi.

UB merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Ada anggapan juga status tersebut merupakan ajang komersialisasi kampus. Bagaimana tanggapan Anda?

Pertama adalah bagaimana bisa PTNBH disebut komersialisasi, itu tidak berdasar. Ketika berubah menjadi PTNBH, dari segi UKT tidak banyak perubahan. Tetapi, sebenarnya dengan PTNBH pemerintah melakukan keleluasaan si perguruan tinggi lebih mengembangkan diri. Kebutuhan perguruan tinggi sangat besar dan anggaran pemerintah sangat berat jika harus mendanai penuh kebutuhan perguruan tinggi. Apalagi ada ratusan perguruan tinggi negeri dan swasta yang harus dibina.

Pemerintah dengan anggaran terbatas memilih perguruan tinggi mana yang kira-kira bisa istilahnya itu diberi wewenang khusus. Sehingga perguruan tinggi bisa mencari alternatif-alternatif pengembangan institusinya, di dalamnya ada fund generation-nya ada di situ.

Kalau tidak seperti itu, harus di-support pemerintah, berat. Jangankan Indonesia, Jepang saja banyak sekali yang istilahnya untuk independen dalam pengembangan perguruan tinggi sangat berat. Di Jepang sekarang sedang mengikuti konsep Amerika untuk perguruan tinggi membuat endowment fund. Sehingga pengelolaan perguruan tinggi lebih independen dan tidak tergantung budget pemerintah. Bagi negara selevel Jepang saja akan berat, apalagi kita.

Idealnya, perguruan tinggi PTNBH fund regeneration-nya jalan, endowment fund-nya jalan, tapi tidak semudah membalikan telapak tangan hingga perlu strategi dan waktu. Sehingga ke depan perlahan-lahan PTNBH di Indonesia bisa lebih mandiri terutama mungkin bagaimana mengembangkan endowment fund atau dana abadi di perguruan tinggi masing-masing.


Redaktur : Redaktur Pelaksana
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top