Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Netralitas Karbon | Di Negara Lain, Sekitar 70% Pengurangan Emisi Karbon melalui Transisi Energi

Pengembangan EBT Tak Serius

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia sepertinya masih setengah hati mendorong optimalisasi energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai solusi untuk menciptakan netralitas karbon ke depan. Hal itu terlihat dari kecilnya peran EBT dalam mengurangi emisi karbon pemicu efek rumah kaca sehingga mempengaruhi perubahan iklim atau pemanasan global.

Upaya mencapai netralitas karbon lebih mengutamakan pendekatan pasar, yakni melalui perdagangan karbon. Padahal, solusi tersebut dinilai hanya mementingkan korporasi besar sebagai penyumbang terbesar karbon, baik di dalam negeri maupun dunia.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyampaikan Indonesia berkomitmen mengurangi sekitar 60 persen emisi karbon melalui sektor alam. Artinya, Indonesia menggunakan solusi alami untuk mengurangi emisi karbon dengan pengelolaan penuh kehutanan atau forestry serta tata guna lahan secara efektif.

"Hampir 60 persen dari pemenuhan pengurangan emisi karbon kita adalah dari sektor alam. Natural solution, natural base carbon emission reduction. Yang basisnya adalah dari forestry dan land use full management, sedangkan untuk energy transition kita tidak sampai 30 persen," kata Mahendra dalam acara peluncuran Asosiasi ESG Indonesia di Jakarta, Senin (28/8).

Hal itu berbeda dengan komitmen negara lain yang mayoritas memenuhi pengurangan emisi karbon dari sektor energi. Mahendra menjelaskan utamanya negara-negara lain mengurangi emisi karbon dengan melalui transisi energi yang berbasis bahan baku fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Sekitar 70 persen pemenuhan pengurangan emisi karbon dilakukan melalui pendekatan transisi energi.

"Sebagian besar adalah 70 persen pemenuhan pengurangan emisi karbonnya dari sana. Kalau di Jepang, 99,9 persen. Dan negara-negara berkembang lain juga sama, India saya rasa sama, 85-90 persen," jelasnya.

Adapun berdasarkan National Determined Contribution (ND) Indonesia terbaru, Indonesia menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89 persen (dengan usaha sendiri) dan 43,20 persen (dengan dukungan internasional). Angka tersebut meningkat dibandingkan kebijakan sebelumnya sebesar 29 persen. Berkaitan dengan sektor energi, pemerintah Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 12,5 persen (dengan usaha sendiri) dan 15,5 persen (dengan dukungan internasional).

Terbitkan Regulasi

Seperti diketahui, Pada 2 Agustus lalu, OJK resmi menerbitkan regulasi perdagangan karbon di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon atau POJK bursa karbon. OJK beralasan POJK bursa karbon merupakan bagian untuk mendukung pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sejalan dengan komitmen Paris Agreement.

Namun, regulasi tersebut menuai protes dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Kepala Divisi Kampanye Walhi, Puspa Dewy, menilai POJK tersebut hanya memfasilitasi bisnis yang mengatasnamakan krisis iklim tanpa melihat atau menjawab akar masalahnya.

Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi besar EBT, seperti pembangkit tenaga angin atau bayu (PLTB), Air (PLTA), dan sinar matahari (PLTS). Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Nurcahyanto, mengungkapkan potensi EBT di Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW) dari energi surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut. Saat ini, pemanfaatannya baru 12.669 megawatt (MW).

"Bahwa kita memiliki target (pemanfaatan EBT) 23 persen (pada 2025), pada 2022 baru sekitar 12,3 persen mungkin sekarang sudah mendekati 14 persen," ujar Nurcahyanto, beberapa pekan lalu.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top