Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Hapuskan Tumpang Tindih Regulasi yang Hambat EBT

Pengembangan EBT Berpotensi Memperkuat Industri Nasional

Foto : ANTARA/WAHYU PUTRO A

Mahasiswa STT Telkom Jakarta memperlihatkan rangkaian listrik menggunakan tenaga surya saat pelaksanaan hari bebas berkendara di Kawasan Bundaran HI Jakarta. Kegiatan tersebut untuk mensosialisasikan penggunaan listrik dengan energi terbarukan serta penggalangan donasi bagi masyarakat yang kurang mampu di kawasan Bogor.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah semestinya memahami bahwa energi baru terbarukan (EBT) merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi dari sekarang karena energi fosil pada saatnya akan habis. Untuk itu, pemerintah mesti memprioritaskan EBT sebagai target pengembangan agar terhindar dari krisis energi.

Selain itu, pengembangan industri EBT, seperti untuk kebutuhan energi surya, sebenarnya juga bisa mendorong pertumbuhan industri dalam negeri sehingga mewujudkan kemandirian, penguasaan teknologi, dan menciptakan banyak tenaga kerja.

Pengamat ekonomi energi UGM Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengatakan pemerintah sebenarnya sudah mulai berusaha mengembangkan EBT, meskipun targetnya belum tercapai. "Berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah adalah memberikan proses perizinan, fasilitas investasi dan terakhir melalui Permen No 55 dengan menetapkan tarif EBT 85 persen dari HPP (Harga Pokok Produksi) pembangkitan listrik," kata Fahmy, saat dihubungi, Senin (2/4).

Seharusnya, menurut dia, pemerintah juga mengatasi keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan dalam pengembangan EBT. Kemudian, pengembang juga kesulitan dalam pembebasan lahan, serta perizinan yang masih panjang dan berjenjang baik di pusat maupun daerah.

"Kendala ini harus diatasi oleh pemerintah secara berkelanjutan agar pengembangan EBT semakin menarik. Tanpa ada penyelesaian hambatan-hambatan ini, maka akan sulit bagi Indonesia untuk kembangkan EBT seperti yang ditargetkan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional)," papar Fahmy.

Fahmy menjelaskan karekteristik EBT umumnya menggunakan teknologi tinggi dengan investasi yang relatif mahal, sehingga sudah seharusnya pemerintah mengakomodir masalah itu. "Investasi EBT mahal dan tingkat pengembaliannya juga lama. Barangkali pemerintah bisa memberikan subsidi bunga," ujar dia.

Anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, menambahkan Indonesia semestinya mencontoh konsep Tiongkok dalam pengembangan EBT. Tiongkok merupakan negara yang unggul memanfaatkan EBT. Dari total kapasitas terpasang 1.645 GW, EBT telah mencapai 591 GW. Di negara itu pengembangan dan pemanfaatan energi surya juga bertujuan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru bagi warganya.

"Mereka telah mampu mengembangkan industri PV (photovoltaic) mulai dari hulu sampai produk jadi yang semuanya diproses dan dikerjakan di dalam negeri Tiongkok," jelas dia, belum lama ini. Dari pasar yang telah tercipta tersebut, produksi mendapat jaminan pasar sehingga skala keekonomian dapat dicapai.

Selain itu, dengan kemampuan yang dimiliki, perusahaan-perusahaan PV di Tiongkok telah mampu mengekspor produknya ke berbagai negara, termasuk Eropa. Semestinya, lanjut dia, dengan kebutuhan energi yang terus meningkat dan komitmen untuk mengembangkan dan memanfaatkan EBT, maka pasar dalam negeri Indonesia dijaga dan industri domestik didorong untuk tumbuh sehingga secara bertahap lapangan kerja tercipta dan teknologi PV bisa dikuasai.

Bukan sebaliknya, Indonesia malah menciptakan pasar bagi produk negara lain. "Walaupun dengan argumentasi murah, konsekuensinya devisa akan tersedot, produksi negara lain tumbuh, lapangan kerja bangsa lain tercipta, research and development mereka berkembang, Indonesia hanya jadi pasar dan penonton," papar Tumiran.

Pembiayaan Infrastruktur

Fahmy mengatakan hal yang paling pokok untuk dilakukan pemerintah adalah memprioritaskan alokasi dana APBN untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dalam pengembangan EBT. Kedua, pemerintah mesti menghapus tumpang tindih regulasi yang menghambat pengembangan EBT.

Ketiga, pemerintah bisa memberikan berbagai insentif dan subsidi, sesuai dengan tahapan pengembangan EBT. "Dengan upaya mengatasi kendala pengembangan EBT secara berkelanjutan, diharapkan percepatan pengembangan EBT bisa dicapai," kata Fahmy.

Seperti dikabarkan, Arab Saudi yang mempunyai cadangan minyak terbanyak di dunia, justru gencar membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 200 gigawatt (GW) pada 2030, dengan investasi 200 miliar dollar AS. Oleh karena itu, Indonesia yang diperkirakan bakal kehabisan cadangan minyak dalam 11 tahun mendatang semestinya memiliki upaya yang lebih keras untuk mengembangkan EBT.

YK/ahm/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top