Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara

Pengelolaan Utang Harus Diwaspadai agar Produktif

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan - Litbang KJ - KJ/ONE
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu, mengenai rasio utang pemerintah sebesar 39,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih termasuk sehat menuai kontroversi dari para ekonom.

Alasan Menkeu menyatakan rasio tersebut masih sehat karena di bawah ketetapan Undang-Undang (UU) yang mengatur utang pemerintah maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Anda terobsesi yang dianggap sehat itu negara tidak ada utang, ya tidak ada. Semua negara, bahkan itu Brunei Darussalam maupun Arab Saudi punya utang," kata Menkeu dalam acara "Kuliah Umum" salah satu media yang dipantau Antara secara daring di Jakarta, akhir pekan lalu.

Rasio utang, kata Menkeu, cenderung menurun dari rasio sebelumnya yang berada di kisaran 40 persen dari PDB saat pandemi Covid-19. Penurunan rasio utang, jelasnya, diupayakan dengan meningkatkan penerimaan negara saat perekonomian membaik.

Seluruh penerimaan negara tersebut dikumpulkan agar bisa digunakan membiayai belanja negara untuk masyarakat sehingga pemerintah tidak perlu melakukan pembiayaan melalui utang.

"Jadi, kalau kita bicara tentang pengelolaan utang, itu identik dengan mengelola seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita," kata Menkeu.

Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya mengakui memang tidak ada negara yang tidak punya utang. Begitu pula dengan rasio utang pemerintah 39 persen menurut UU masih dianggap aman. Kendati demikian, Esther mengatakan pemerintah harus tetap mewaspadai rasio utang terhadap PDB karena sudah mendekati angka 40 persen.

"Kita harus waspada, apakah produktivitas Indonesia meningkat dengan adanya utang yang semakin besar?" tanya Esther.

Kalau melihat angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/ menambah satu unit output, masih kurang efisien. Angkanya masih sekitar 6-7 persen. Sedangkan Malaysia 5,4, India 5,0, Filipina 4,1, dan Vietnam 3,7.

Hal itu menunjukkan biaya investasi di Indonesia mahal, tambahan modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang diperoleh.

"Debt Management"

Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan meskipun rasio utang RI masih dianggap wajar, namun pemanfaatan utang tersebut juga harus diperhatikan. Utang harus dikelola dengan rapi dan dibelanjakan secara tepat.

"Debt management harus rapi. Berutang boleh, selama dikelola dan digunakan dengan benar. Maka utang tersebut harus digunakan dengan efesien, produktif dan tepat sasaran supaya menjadi investasi yang menguntungkan terutama dalam masa pemulihan seperti ini," kata Wibisono.

Supaya produktif, penggunaannya diprioritaskan untuk hilirisasi industri, jangan malah dikorupsi. Selain itu, kelayakan investasi harus ditingkatkan.

Pemerintah harus menjamin investor bebas dari pungutan biaya-biaya siluman yang tidak perlu yang malah memacu ekonomi biaya tinggi.

"Hal itu penting agar mendukung penggunaan utang itu sendiri. Maka dari itu, kontrol atas penggunaan dan penegakkan hukum harus lebih baik," kata Wibisono.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top