Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Utang Belum Mampu Angkat Daya Saing RI

Penerimaan Seret, Jangan Agresif Tarik Utang

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and - KJ/ONE
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dan sektor swasta, termasuk BUMN, diharapkan tidak terlalu agresif menarik utang karena potensi pertumbuhan pendapatan pada kedua sektor tersebut tidak begitu menggembirakan.

Mengenai utang swasta, ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengemukakan melesatnya utang luar negeri (ULN) swasta dan BUMN mesti dicermati lebih ketat. Sebab, performa keuangan sebagian besar swasta dan BUMN sedang tidak baik, terutama karena iklim bisnis terganggu oleh pelemahan ekonomi global.

"Ini tentunya berpotensi mengurangi kemampuan bayar utang perusahaan. Apalagi, utang valas (valuta asing) yang tinggi juga bisa memicu kenaikan risiko moneter ketika nilai tukar rupiah melemah," jelas dia, di Jakarta, Selasa (18/6).

Bhima mencontohkan, Turki pada 2018 mengalami tekanan cukup berat karena kebergantungan yang tinggi pada pembiayaan valas. Banyak perusahaan Turki yang sempat gagal bayar utang. "Ini menjadi pelajaran penting bahwa utang di satu sisi menjadi daya ungkit, tapi juga bisa menyebabkan krisis keuangan."

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengumumkan ULN Indonesia naik 8,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) per akhir April 2019 menjadi 389,3 miliar dolar AS atau setara 5.533 triliun rupiah dengan menggunakan perhitungan kurs tengah pada 30 April yakni 14.215 rupiah per dolar AS.

Kenaikan ULN lebih didominasi melesatnya utang swasta, karena ULN pemerintah tumbuh melambat. Data BI menunjukkan ULN swasta naik 14,5 persen (yoy) menjadi 199,6 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 13 persen (yoy).

Menurut Bhima, BI perlu terus memonitor perusahaan yang menerbitkan utang luar negeri, sekaligus memastikan bahwa perusahaan swasta sudah melakukan lindung nilai atau hedging. "Jika ada perusahaan yang main tabrak prinsip kehati-hatian, BI sebagai otoritas moneter perlu memperingatkan," tukas dia.

Masalah pembiayaan valas, lanjut Bhima, juga terlihat dari defisit neraca perdagangan. Ini menunjukkan bahwa utang belum mampu mengangkat daya saing Indonesia. Akibatnya, beban bunga pinjaman cenderung tinggi.

Sementara itu, sektor perdagangan jasa dalam negeri dan perbankan menghadapi tantangan berupa pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5 persen. "Kalau situasi ini terus dibiarkan maka pembayaran kewajiban jangka pendeknya akan makin berat," kata Bhima.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng, menambahkan melesatnya utang valas sektor swasta justru dibarengi dengan pertumbuhan pendapatan yang stagnan. Padahal, banyak ULN swasta yang digunakan untuk bisnis dengan pendapatan dalam rupiah.

"Maka lesatan jumlah utang akan menghadapi tekanan berat currency, bunga, dan risiko yang selalu naik. Maka kebijakannya naikkan suku bunga," papar Salamuddin.

Posisi Puncak

Salamuddin mengingatkan masalah keuangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah utang swasta yang melesat tinggi seperti pada masa sebelum krisis 1997/1998, namun pada saat yang sama beban keuangan pemerintah sendiri berada pada posisi puncak.

"Yang harus diwaspadai saat ini adalah penerimaan pemerintah yang juga sedang buruk di saat beban bayar utang pemerintah sangat besar dan masih ditambah oleh utang swasta yang sangat besar pula," ujar dia.

Kemenkeu mencatat penerimaan pajak periode Januari-Mei 2019 hanya tumbuh satu digit, antara 2-3 persen. Melihat realisasi penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 484,5 triliun rupiah, maka penerimaan pajak pada lima bulan pertama tahun ini berkisar 494,19 triliun hingga 499,03 triliun rupiah.

Meskipun membaik dibandingkan capaian Januari-April 2019 yang hanya tumbuh 1 persen, realisasi pertumbuhan pajak hingga bulan kelima masih jauh dari target pertumbuhan 2019 sebesar 19 persen. Pada periode Januari-Mei 2018, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 14,13 persen secara tahunan.

Menurut Salamuddin, pemerintah saat ini menghadapi masalah keuangan yang pelik. Pemerintah berkali-kali menaikkan suku bunga obligasi negara untuk menarik minat investor. Kebijakan ini bisa membahayakan keuangan nasional karena bunga surat utang pemerintah melebihi bunga deposito perbankkan. YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top