Penerbit di Kongo Berupaya Damaikan Kaum Muda dengan Buku
Pendiri kelompok pencetak Mlimani, Depaul Bakulu, sedang membaca karya tulis di sebuah toko buku di Kota Goma di Republik Demokratik Kongo (DRC) pada akhir November lalu. Karena di DRC sebagian orang menganggap membaca merupakan kemewahan
Foto: AFP/PHILÉMON BARBIERMesin cetak yang ada di sudut toko percetakan milik Martin Lukongo di Goma, sebuah kota di wilayah timur Republik Demokratik Kongo (DRC) yang bermasalah, bergetar saat mencetak pesanan sebanyak 400 eksemplar buku.
Selama lebih dari 30 tahun, bagian negara Afrika tengah yang luas ini lebih dikenal karena konflik yang kini melanda kota tersebut, daripada karena hasil karya sastranya. Sebagian orang menganggap membaca merupakan kemewahan, bahkan kegiatan yang sia-sia, terutama di negara yang termasuk salah satu negara termiskin di dunia.
Namun, sekelompok seniman dan aktivis telah berupaya mendorong kaum muda untuk mengembangkan kecintaan terhadap buku dengan mengatasi rintangan untuk memproduksinya secara lokal.
"Para penulis lebih suka mencetak di Eropa, karena mereka pikir mereka tidak bisa memperoleh kualitas ini di sini," kata Lukongo.
Sebagai seorang fotografer, ia berhasil mengatasi pemadaman listrik dan kekurangan kertas berkualitas tinggi dengan mendapatkannya dari negara-negara tetangga untuk mencetak sekitar 60 eksemplar, termasuk buku, novel, dan esai, dalam seharinya.
Meskipun demikian, pembeli sedikit jumlahnya dan jarang ditemukan toko buku di kota itu, di mana harga buku yang diimpor dari Eropa biasanya berkisar antara 20 hingga 60 dollar AS yang setara dengan upah beberapa hari bagi kebanyakan orang di Kongo.
"Sangat sedikit anak muda yang mampu membeli buku-buku ini, tidak seperti barang-barang lain seperti bir yang merupakan penawaran khusus setiap akhir pekan," kata Depaul Bakulu, salah satu pendiri kelompok penerbit Mlimani.
Untuk mendanai pendirian penerbit lokal, kelompok ini harus membuat koleksi buku secara daring karena melihat kurangnya akses terhadap buku yang dianggap sebagai "bahaya bagi kaum muda", Mlimani memasang harga bukunya berkisar antara 5 hingga 10 dollar AS saja.
Satu setengah tahun sejak peluncurannya, katalog kelompok Mlimani telah membanggakan selusin penulis yang diterbitkan. Di antara mereka terdapat psikoanalis dan filsuf sosial Prancis, Frantz Fanon, ginekolog Kongo dan peraih anugerah Nobel Perdamaian Denis Mukwege, serta novelis, peneliti, dan penulis esai, yang mayoritas berasal dari DRC.
“Kesamaan yang mereka miliki adalah buku-buku yang membahas tentang budaya anak muda Kongo atau memiliki hubungan langsung dengan kehidupan mereka," kata Bakulu. "Mereka mengatakan orang Kongo tidak bisa membaca, tetapi kami menyadari bahwa masalahnya lebih terkait dengan pengadaannya," imbuh dia.
Distribusi tanpa Memaksa
Saat ini karya-karya yang diterbitkan Mlimani didistribusikan di sebagian besar kota utama di DRC oleh jaringan mitra. Para anggotanya mengunjungi sekolah-sekolah dan pusat-pusat kebudayaan untuk mencari pembaca potensial, yang mereka bujuk dengan mengikuti sesi membaca kelompok.
Pada suatu pagi baru-baru ini, sekitar selusin orang berkumpul di pusat Kota Goma untuk membahas publikasi buku baru yang dicetak Mlimani berjudul L'Histoire Generale du Congo (Sejarah Umum Kongo) yang diprakarsai oleh sejarawan Kongo bernama Isidore Ndaywel E Nziem.
"Ide utamanya adalah untuk duduk bersama di meja yang sama dan mendiskusikan berbagai subjek yang menjadi perhatian kita," kata Victor Ngizwe, salah seorang mahasiswa yang mengelola lokakarya tersebut. "Ini memungkinkan kami mendistribusikan konten tanpa memaksa orang membeli buku," imbuh dia.
Peserta lokakarya itu sebagian besar adalah pemuda yang menggambarkan diri mereka sebagai orang yang berkomitmen dan mencari perangkat intelektual untuk memberontak dan mencari tahu apa yang harus dilakukan dengan masa depan mereka, kata salah seorang dari mereka, mahasiswa fakultas hukum bernama Steven Sikubwabo.
Dengan dua sukarelawan yang mengangkat beberapa momen penting dalam sejarah bangsa, diskusi kelompok yang menarik itu terselenggara dengan lancar. Ini jauh berbeda dari karya sejarah yang biasa tersedia, yang sebagian besar ditulis oleh penulis asing dalam buku-buku yang sebagian besar diterbitkan dan dijual di luar negeri.
“Ini adalah sesuatu yang jarang diwariskan ke generasi berikutnya. Di sekolah, guru-guru menanamkan sejarah Eropa kepada kami. Kami tidak berbicara tentang sejarah kuno Afrika, kami tidak berbicara tentang Abad Pertengahan di Afrika," komentar penyair sekaligus pendongeng bernama Gautier Barhebwa.
"Dalam setiap peradaban, masa lalu berfungsi sebagai cermin masa kini. Kita perlu membangun cerita rakyat yang dapat menyatukan kita," ungkap peserta lokakarya lainnya yang bernama Victor Ngizwe.
Dan ternyata Mlimani kini tak sendiri karena telah ada penerbit lokal lainnya bermunculan. "Ini tak hanya akan memberi semangat bagi para pembaca muda, tetapi juga bagi mereka yang siap untuk mulai menulis," kata Lukongo. "Anda tidak perlu mengirim buku Anda untuk dicetak ke tempat lain untuk kemudian menjualnya di sini," imbuh dia. AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 2 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Terapkan SDGs, Perusahaan Ini Konsisten Wujudkan Sustainability Action Plan
- 5 Segera diajukan ke Presiden, Penyederhanaan Regulasi Pupuk Subsidi Masuk Tahap Final