Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Penentangan Pada Politik Etis Kobarkan Semangat Nasionalisme

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Politik etis yang diterapkan oleh Belanda di negeri jajahan, dalam pelaksanaannya selain mendapat dukungan namun juga penentangan-penentangan. Penentangan disertai celaan di surat-surat kabar semakin mengobarkan semangat nasionalisme.

Sinyal awal resmi untuk menerapkan politik etis (ethische politiek) datang dari Ratu Wilhelmina pada 1901. Dalam pidato pendek, ia mengatakan, "Untuk meresapi seluruh kebijakan pemerintah dengan kesadaran, Belanda memiliki panggilan moral yang harus dipenuhi terhadap penduduk daerah-daerah tersebut. Sehubungan dengan itu, semakin rendahnya kesejahteraan penduduk asli di Jawa menarik perhatian khusus saya,".
Dua belas tahun kemudian dalam Pidato dari Tahta tepatnya pada 16 September 1913, Wilhelmina kembali ke masalah itu. "Pemerintah menganggap seruannya juga berlaku di koloni untuk meningkatkan dan menumbuhkan kesejahteraan rakyat dan kesadaran kebersamaan Tanah Air dan koloni serta semua penduduk di wilayah ini," ucap Ratu Wilhelmina.
"Ini akan mengejar tujuannya dengan mempromosikan pendidikan populer, menyesuaikan diri dengan kebutuhan berbagai kelompok yang membentuk penduduk di Hindia Belanda, dan mendorong toleransi di bidang agama dan saling menghargai ras," lanjut dia.
Namun ide awal politik etis bukan dari Kerajaan Belanda. Ide tentang politik etis berada dari artikel berjudul Een Eereschuld atau Utang Kehormatan. Artikel ini muncul pada Agustus 1899 di majalah sastra dan budaya umum De Gids dengan penulis Conrad Theodor van Deventer (1857-1915).
Van Deventer belajar hukum di Leiden dan pertama kali bekerja sebagai pegawai negeri di Hindia. Ia lalu jadi pengacara di Semarang dan kembali ke Belanda pada 1897. Dia adalah anggota Dewan Perwakilan (1905-1909 dan 1913-1915) dan Senat (1911-1913) untuk partai Uni Demokratik Liberal.
Artikelnya yang berjudul A Debt of Honor dalam bahasa Inggris, membicarakan hal ini secara relatif singkat. "Koloni kita harus diatur, tidak didominasi, apalagi dieksploitasi," tulis van Deventer.
Dalam kuliah yang dia berikan di Freie Universität Berlin pada 9 Mei 2012, profesor sejarah Leiden Cees Fasseur menyatakan 1860 sebagai tahun kelahiran politik etis, bukan 1901. Pada 1860, Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menerbitkan buku terkenal Max Havelaar atau lelang kopi Nederlandsche Handel-Maatschappij.
Multatuli membuat seruan mendesak kepada Belanda untuk mengakhiri pembungkaman yang mengorbankan penduduk pribumi. Atas apa yang terjadi pemerintah Hindia Belanda hampir tidak melakukan apa-apa. Ia meminta kondisi yang lebih adil di Timur meski dia sendiri bukan tidak antikolonial.
Hal yang sama juga terjadi pada pengacara dan jurnalis tersebut, Pieter Brooshooft (1845-1921), yang antara lain adalah pemimpin redaksi harian liberal De Locomotive, yang terbit di Semarang. Pada 1901, Brooshooft bertindak sebagai eponim politik etis dengan penerbitan brosur Kursus Etis dalam Politik Kolonial.
Di DPR, Henri van Kol (1852-1925) tanpa lelah membela politik etis atas nama Partai Pekerja Sosial Demokrat (SDAP). Van Deventer telah menyatakan bahwa dia terinspirasi oleh Van Kol untuk artikelnya A Debt of Honor yang dianggap sebagai tonggak sejarah oleh orang-orang sezamannya.
Namun dalam buku berjudul Stille Macht (Amsterdam, 1994) tentang pemerintahan domestik di Jawa dan Madura, sejarawan Leiden, Wim van den Doel, menyebut politisi Van Kol adalah pendukung prinsip kolonialisme.
Pemimpin antirevolusioner Abraham Kuyper (1837-1920) tentu saja tidak boleh hilang dari daftar ahli etika dan bukan hanya karena Wilhelmina secara resmi meluncurkan kebijakan etis pada 1901 di bawah tanggung jawab Kuyper. Jauh sebelumnya, Kuyper dan rekan-rekannya berpikir bahwa tidak mungkin menggempur Hindia Belanda dengan cara yang terus menguntungkan.
Partai Antirevolusioner (ARP) mencatat hal ini dalam Program Prinsip-prinsipnya pada April 1879. Mereka menulis bahwa kewajiban moral harus menggantikan kecenderungan egois untuk mengeksploitasi Hindia, sebagaimana diuraikan oleh sejarawan Van den Doel.
ARP memandang bahwa penduduk asli sebagai anak yang harus dibesarkan sampai bisa mengambil posisi yang lebih mandiri. Jadi disini juga tidak ada pertanyaan tentang antikolonialisme.

Kolonialisme yang Tercerahkan
Multatuli, Kuyper, Van Kol, Brooshooft, Van Deventer dan ahli etika lainnya, mereka semua menginginkan yang terbaik untuk penduduk asli, tetapi di dalam konteks negara Belanda. Para ahli etika juga menghormati gagasan asosiasi, kerja sama terpadu antara Belanda dan Indonesia.
Secara positif, para ahli etika ingin memberikan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk asli, tetapi lebih skeptis, politik etis (juga) merupakan sarana untuk membuat penduduk di Timur puas dan tenang sehingga Belanda dapat terus memegang kendali di sana. Dengan kata lain, politik etis adalah bentuk kolonialisme yang tercerahkan.
Ide tentang politik etis bukan tanpa perlawanan. Kebanyakan harian berbahasa Belanda di Hindia tidak menyukainya dan dengan demikian mengungkapkan dengan tepat apa yang dipikirkan pembaca Eropa mereka. Secara tradisional, sebagian besar harian ini bertindak sebagai corong bagi komunitas bisnis India.
Jika sebuah surat kabar berpikir harus mengadopsi sikap etis, jumlah pelanggan langsung turun. Ilmuwan Leiden, Gerard Termorshuizen, menunjukkan hal ini di bagian kedua dari karya standarnya tentang pers Indo-Belanda, Realisten en reaksioner (Amsterdam/Leiden, 2011). hay/I-1

Kebijakan yang Terlambat dan Gagal Memenuhi Harapan

Celaan dari media Soerabaiasch Handelsblad dan News of the Day membuat Joshua Schaap menerjemahkannya pada Native pada 22 September 1917, dengan menulis sebagai pelanggaran terhadap penduduk asli. Celaan-celaan ini mempengaruhi jiwa Timur sehingga melahirkan revolusioner kesadaran ras.
Penentangan terhadap politik etis membuat ditunjukkan dengan pendirian Partai Indische Partij atau Partai Hindia yang didirikan pada 25 Desember 1912 oleh E.F.E Douwes Dekker (Multatuli), bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat.
Partai Hindia bukan organisasi moderat, seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Partai ini menetapkan tujuan yang jelas yaitu kemerdekaan, Hindia untuk lepas dari Belanda. Dari sini semangat nasionalis itu akhirnya keluar.
Bagi para ahli etika, itu berarti menggagalkan tujuan mereka dengan menyakitkan. Beberapa tahun kemudian, pers reaksioner dan ahli etika yang dicela oleh sebagian besar surat kabar tampaknya semakin berada di kubu yang sama melawan nasionalisme non-kooperatif yang digaungkan partai tersebut.
Politik etis yang telah dijalankan sebelumnya membuahkan hasil pendidikan bagi masyarakat adat telah diperluas, ada upaya untuk memerangi kemiskinan. Pada saat yang sama, arah etis mengarahkan anak-anak muda Hindia Belanda juga memanfaatkan kesempatan pendidikan ini, untuk berada di garis depan nasionalisme Indonesia.
Sehubungan dengan itu, surat kabar Het Nieuws van den Dag pada 1927 meminta kepada orang-orang Indonesia yang belajar di Belanda agar mereka tidak akan segera mengalami apapun kecuali kesedihan dan kesengsaraan. Mereka selanjutnya mendirikan Perhimpunan Indonesia, yang bertindak sebagai katalisator nasionalisme di Hindia dengan Mohammad Hatta, seorang mahasiswa dari Rotterdam.
Apa yang disebut arah nasionalisme 'non-kooperatif' sebagai reaksi ketidakpuasan atas batas-batas yang ditetapkan oleh politik etis. Non-koperasi tidak mau dipatenkan, mereka ingin membuat jalan mereka sendiri. Mereka ingin bebas di Indonesia dengan merdeka dari Belanda.
Sejarawan dari Universitas Leiden, Cees Fasseur, memandang bahwa politik etis tidak hanya datang terlambat, tetapi juga memiliki terlalu sedikit untuk ditawarkan sehingga harus gagal. Dalam pidatonya 2012, ia mencatat bahwa akhir politik etis dapat ditandai dengan sangat tepat, yaitu pada 28 Desember 1929.
Hari itu Gubernur Jenderal 'beretika' terakhir, Andries Cornelis Dirk de Graeff, berperang. Dengan nasionalisme non-kooperatif dengan membawa proses pidana terhadap insinyur muda Soekarno dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada 1927.
Fasseur mengutip kalimat Gubernur De Graeff yang tahu betul kondisi yang akan terjadi di masa depan. "Kita dihadapkan pada pertempuran yang tak berujung, semakin sengit, di mana kita pada akhirnya harus kalah," kata dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top