Penarikan Utang Pemerintah Belum Efektif ke Sektor Produktif
» Tanpa ada usaha untuk benar-benar membuat setiap rupiah APBN efektif, susah bagi negara ini untuk keluar dari jebakan utang.
JAKARTA - Pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), Febrio Kacaribu, bahwa kenaikan rasio utang Indonesia relatif kecil dibanding negara lain saat pandemi dinilai bisa menyesatkan. Pernyataan tersebut dinilai sebagai sinyal dari pemerintah untuk membenarkan kebijakan mereka kembali menarik utang.
Padahal, selama pandemi mulai 2020 hingga 2022 mendatang, pemerintah rata-rata menarik utang 1.000 triliun rupiah per tahun, sehingga utang Indonesia sudah mendekati 6.000 triliun rupiah.
Penarikan utang pun sebagian besar digunakan untuk penanganan kesehatan dan bantuan sosial yang tidak produktif, sehingga sulit berharap utang tersebut akan berdampak positif pada perekonomian.
Pakar Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan bahwa rasio-rasio relatif hanya berlaku di waktu normal saat semua bisa diprediksi. Saat pandemi, semua ukuran menjadi sulit diprediksi. "Pemerintah mengatakan tidak bisa konsisten mengambil kebijakan saat pandemi karena virusnya berubah-ubah," kata Adit.
Semestinya pemerintah benar-benar memperlihatkan efektif dan efisiennya setiap rupiah yang dikeluarkan dari APBN. Sampai hari ini, rakyat masih terus mendengar banyak masalah dalam belanja negara. Bahkan, masalah yang benar-benar terkait kemanusiaan seperti bansos yang dikorup dan salah sasaran.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya