Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraeni, Terkait Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Pemilu Serentak Bukan Pemilu Borongan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Sebanyak 272 orang lebih petugas panitia pemungutan suara atau yang dikenal dengan Kelompok Petugas Panitia Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia. Belum lagi yang jatuh sakit dan di rawat di rumah sakit.

Untuk mengupas itu lebih lanjut, Koran Jakarta sempat mewawancarai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraeni, di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.

Sudah 272 petugas KPPS meninggal, apa yang salah dari pemilu serentak?

Sebelumnya, kami dari Perludem turut berduka cita atas ratusan petugas pemilu yang meninggal dunia. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan kelembagaan pemerintah terkait harus ikut mengambil tanggung jawab dan mengevaluasi keadaan ini secara serius dan menyeluruh. Harus ada kompensasi yang sepadan bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi mereka yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja saat bertugas melaksanakan pemilu.

Sebagai aktivis masalah kepemiluan, bagaimana Anda melihat ini?

Pemilu serentak lima surat suara memang menyimpan kompleksitas dan membutuhkan tenaga ekstra dalam menjalankannya. Bagaimana tidak, dalam proses penghitungan suara di TPS saja, anggota KPPS memerlukan waktu sampai dengan lewat tengah malam untuk menyelesaikan penghitungan lima surat suara. Belum lagi ditambah beban untuk melakukan pengadministrasian hasil pemilu dalam berbagai jenis formulir yang banyak jumlahnya untuk lima jenis pemilu yang diselenggarakan.

Sekarang muncul suara agar pemilu serentak dievaluasi, tanggapan Anda?

Ya pertanyaanya, apakah pemisahan kembali pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif menjadi salah satu jalan keluar? Kami, Perludem, menyayangkan jika rekomendasi perbaikan pemilu adalah memisahkan pemilu serentak untuk kembali ke desain pemilu terpisah seperti 2014, 2009, dan 2004. Desain tiga pemilu ini pun pada dasarnya cenderung sulit dikelola. Beban berat dari jabatan politik yang dipilih serta kompleksitasnya juga jadi sebab meninggalnya petugas pada pemilu-pemilu legislatif sebelumnya, meski tak sebanyak Pemilu 2019.

Jadi, apa problem pemilu di Tanah Air menurut Anda?

Dalam tataran mayor, sifat pemilu Indonesia yang sangat sulit dikelola karena dua hal. Pertama, menyatukan pemilu DPR dan DPRD Provinsi juga DPRD Kabupaten atau Kota pada waktu yang bersamaan. Kedua, manajemen teknis kepemiluan seperti surat suara yang besar dan banyak, serta distribusinya yang di lapangan mengalami kendala keterlambatan atau kekurangan jumlah.

Ada usulan dari Anda?

Sejak 2012, Perludem bersama dengan koalisi masyarakat sipil serta beberapa lembaga pernah mengusulkan untuk menyerentakkan pemilu menjadi dua bagian. Pertama, pemilu serentak nasional, yang menyelenggarakan pemilu presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal, yang menyelenggarakan pilkada dan DPRD.

Selain mampu mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, kehadiran pemilu serentak dengan desain nasional dan lokal sebagai cara memperbaiki sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Dari pengalaman sejumlah negara Amerika Selatan dan teori ilmu politik, pemilu serentak bisa memperbaiki negara presidensial multipartai seperti Indonesia. Tanpa harus mengamendemen konstitusi dan banyak undang-undang politik, pemilu serentak bisa menghasilkan partai politik atau koalisi mayoritas dan sistem kepartaian multipartai moderat, kurang dari lima partai politik efektif di parlemen.

Jadi, evaluasi seperti apa yang diperlukan agar problem dan masalah yang terjadi di Pemilu Serentak 2019 tak terjadi lagi?

Dari evaluasi Pemilu Serentak 2019, Perludem merekomendasikan perlunya mengupayakan kembali perwujudan desain pemilu serentak nasional dan lokal. Pemilu serentak nasional yakni pemilu presiden-wakil, DPR, dan DPD. Lalu selang 2 atau 2,5 tahun atau 30 bulan setelahnya ada pemilu serentak lokal. Pemilu lokal itu adalah pilkada dan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. agus supriyatna/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top