Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Penutupan Toko Ritel

Pemerintah Klaim Pola Belanja Bergeser

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Gelombang penutupan gerai sejumlah toko ritel di Tanah Air saat ini turut menjadi perhatian pemerintah. Menurut pemerintah, penutupan tersebut lebih disebabkan pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional ke digital ketimbang dampak pelemahan daya beli.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menilai penutupan beberapa toko ritel besar terjadi karena saat ini ada perubahan pola belanja masyarakat ke cara elektronik. "Kalau soal ritel, karena dunia sedang berubah," kata Darmin, di Jakarta, Jumat (18/1).

Darmin mengatakan cara belanja secara elektronik tersebut telah mengubah pola masyarakat, sehingga ritel yang tidak mampu beradaptasi harus melakukan sejumlah penyesuaian termasuk di antaranya menutup toko. "Ini memang mengubah konstelasi, jadi mesti ada yang tersingkir ya," katanya.

Seperti diketahui, sejumlah peritel menutup gerainya di awal 2019. Belum lama ini, Central Department Store memutuskan menutup gerainya di Neo Soho Mall terhitung 18 Februari mendatang. Saat ini, Central memiliki dua gerai di Indonesia. Sebelumnya, jaringan ritel terkemuka, Hero Department Store, menutup 26 gerainya.

Daya Beli Melemah

Namun, Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menganggap peralihan pola belanja masyarakat dari konvensional menuju online tak berpengaruh signifikan bagi penutupan gerai ritel saat ini. Menurut dia, porsi e-commerce terhadap total ritel sangat kecil, sekitar 1-2 persen.

"Barang yang dijual di e-commerce, sekitar 70 persen lebih adalah produk fesyen, sementara yang dijual di supermarket jenis Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Jadi, market-nya pun berbeda," ujar Bhima.

Menurut Bhima, bisnis ritel tumbuh rendah tahun lalu karena terdampak pelemahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RTRT). Kondisi itu sebagai dampak stagnasi pertumbuhan ekonomi di level lima persen.

Selain itu, penurunan harga komoditas, lanjutnya, juga turut berdampak terhadap pelemahan daya beli masyarakat. "Harga komoditas perkebunan yang rontok juga mempengaruhi daya beli masyarakat di Jawa dan luar Jawa. Meskipun inflasi cuma 3,1 persen, tapi masyarakat tetap tahan belanja," ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef lainnya, Aviliani menilai penutupan sejumlah toko ritel besar di Indonesia itu karena kondisi yang tidak mampu bersaing. Selain itu, dia menyebutkan penutupan ritel bisa saja disebabkan oleh faktor internal karena di sisi lain masih banyak perusahaan lain yang justru terus berekspansi dan tidak ada persoalan daya beli.

Aviliani juga menekankan inovasi dan kreativitas ritel untuk menggaet konsumen juga dibutuhkan agar bisa bertahan di era daring seperti saat ini. "Perusahaan yang tidak berekosistem juga akan bisa mati karena orang sekarang maunya satu untuk semua. Tidak perlu ekosistem dalam satu grup, tapi bisa kerja sama dengan perusahaan lain," tutupnya. ers/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Antara

Komentar

Komentar
()

Top