Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Realisasi Impor Beras 1,3 Juta Ton dari Total Kuota 3,6 Juta Ton.

Pemerintah Belum Serius Membangun Kemandirian Pangan

Foto : Sumber: BPS - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai realisasi impor beras melalui Bulog tidak sampai 5 persen dari total kebutuhan beras nasional mengundang reaksi dari para pemerhati pangan di Tanah Air. Pernyataan tersebut dinilai semakin menjauhkan Indonesia dari upaya mencapai swasembada pangan.

Jokowi saat mengunjungi Kompleks Pergudangan Bulog Laende di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Senin (13/5), mengatakan bahwa impor beras harus dilakukan demi menjaga harga beras yang stabil di tingkat konsumen.

"Nggak ada lima persen kita harus impor. Ada yang dari Vietnam, Thailand, ada yang dari mana Pak? Kamboja, Pakistan, harus impor dari sana. Karena penduduk kita ini sekarang 280 juta orang, semuanya ingin. Nah itu tidak mudah," kata Presiden seperti dikutip dari Antara.

Data terakhir pada awal Mei 2024, realisasi impor beras sudah mencapai 1,3 juta ton dari kuota total 3,6 juta ton. Berdasarkan prognosa neraca pangan nasional periode Januari hingga Desember 2024 yang telah disusun oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), kebutuhan beras di Indonesia tahun ini mencapai 31,2 juta ton. Hal itu berarti impor beras Indonesia yang sudah direalisasikan mencapai 4,1 persen dari total kebutuhan nasional.

Menanggapi pernyataan Presiden, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan Presiden semestinya tidak pernah mengecilkan angka impor beras. Sebab faktanya, kekurangan pasokan nasional yang ditutup dari importasi membuat Indonesia makin jauh dari swasembada beras.

Ada banyak detil di produksi dan pascaproduksi yang masih belum berhasil dieksekusi oleh otoritas pangan nasional. Padahal, jika itu dikerjakan sungguh-sungguh maka Indonesia dari dulu bisa swasembada pangan dan tidak perlu membuang-buang devisa untuk impor.

"Kekurangan yang diimpor sebenarnya bisa ditutupi dengan mengoptimalkan jumlah produksi yang tercecer karena penanganan saat panen. Gabah selama ini digiling dengan tingkat kekeringan lebih dari 20 persen sehingga angka rendeman rendah. Ini baru kehilangan di tingkat petani, belum di tingkat pedagang. Ada perhitungan kita kehilangan 1,8 juta ton per tahun atau 50 persen dari total impor saat ini hanya dari penanganan gabah pascapanen," papar Dwijono.

Akademisi juga, katanya, berulang kali mengingatkan rusaknya jaringan irigasi terutama jaringan irigasi tersier dan sekunder, sehingga banyaknya bendungan yang dibangun di era Presiden Jokowi dampaknya belum terlalu optimal pada peningkatan produksi beras nasional.

Dalam kesempatan terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan pernyataan Presiden tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah belum punya niat serius membangun kemandirian pangan.

"Statement seperti ini merusak agenda bangsa untuk menciptakan kemandirian pangan," tegas Anthony.

Dia pun mencontohkan program food estate atau lumbung pangan yang hasilnya jauh dari ekspektasi publik, sementara dari sisi lingkungan sudah banyak yang dikorbankan untuk menjalankan proyek tersebut.

Meskipun impor beras belum sampai 5 persen, tapi sangat jelas pemerintah tidak ada niat untuk mengurangi beban anggaran. Devisa terus terkuras habis untuk membiayai impor pangan, sementara pemerintah tak ada niat untuk mengakhirinya.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan dengan melihat besarnya potensi pertanian serta kondisi sosio-ekonomi sebagian masyarakat tani di perdesaan yang belum sejahtera, maka tingginya kebutuhan pangan (beras) nasional semestinya menjadi peluang untuk merealisasikan kemandirian pangan.

"Pernyataan seperti itu sama halnya memberi angin segar ke oligarki dan pemburu rente dari impor pangan untuk mengeruk untung lebih besar lagi. Sebab, dalam konteks Indonesia 5 persen impor itu jumlahnya juga besar, semestinya pemerintah harus mengurangi impor beras," tegas Awan.

Dari Surabaya, pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan problem yang ditimbulkan oleh impor pangan bukan sekadar dari persentase atau jumlah volume yang diimpor, tapi juga soal kapan impor itu dilakukan dan keakuratan data yang mendasari jumlah impor.

"Pada dasarnya jumlah impor yang boleh diimpor adalah defisit dari supply dan demand, namun yang sering menjadi masalah adalah timing impor beras itu sendiri. Seharusnya impor dilakukan sebelum atau sesudah masa panen, bukan saat atau dekat dengan musim panen. Kalau polanya seperti itu, maka otomatis akan terjadi kelebihan supply dan petani akan dirugikan," kata Zainal.

Diversifikasi Pangan

Sebelumnya, Dosen Universitas Catur Insan Cendekia (UCIC) Cirebon, Dr Taufan Hunneman mengatakan pemerintah perlu menyusun strategi atau terobosan untuk menjadikan beras tidak lagi sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat. Karena itu, pemerintah harus serius mengimplementasikan diversifikasi pangan pokok, terutama sumber karbohidrat.

Beras tidak perlu dipaksakan menjadi satu-satunya komoditas pemenuhan kebutuhan karbohidrat nasional. Sebab, hal itu akan sulit terpenuhi, sebagaimana dalam beberapa hari belakangan ini.

"Karena itu, pembenahan bahan pangan nonpadi sudah harus dimulai dari aspek agronomi, pengolahan dan hilirisasi, distribusi, hingga penyajian," ujar Taufan, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (9/3).


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top