Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pemenuhan Pangan Akan Selalu Rentan Bergejolak

Foto : Koran Jakarta/M fachri

Pekerja menyiapkan kedelai untuk dibuat tahu di sentra pembuatan tahu di Jakarta, beberapa waktu lalu. Harga kedelai yang merupakan bahan baku pembuat tahu kembali naik, hal ini membuat pengusaha tahu mengurangi ukuran tahu yang dijualnya.

A   A   A   Pengaturan Font

Persoalan gejolak harga pangan di dalam negeri seakan-akan tak ada habisnya. Belum reda polemik kedelai dan minyak goreng, kini masyarakat dihadapkan lagi dengan melambungnya harga daging. Kedelai dan daging sama-sama jenis pangan yang mengandalkan impor. Akibatnya, jika pasar internasional bergejolak, harga di pasar domestik pun dipastikan terganggu. Ibaratnya, meskipun di luar hanya bersin, kita di sini sudah sakit. Apalagi kalau di pasar internasional sudah batuk-batuk, mungkin kita sudah tepar.

Dari 28 Februari hingga 4 Maret kemarin, pedagang daging melakukan mogok dagang. Mereka tak menjual daging sebagai bentuk protes atas kenaikan harga. Harga daging sapi naik dari yang biasanya di kisaran 115 hingga 125 ribu rupiah per kilogram (kg), kini menjadi 160 rupiah ribu per kg. Sementara itu, harga daging sapi bagian paha belakang menyentuh 135 hingga 160 ribu rupiah per kg. Hal yang sama juga pada harga daging sapi murni dari sebelumnya 115 menjadi 132 ribu rupiah per kg.

Harga daging sebenarnya sudah merangkak naik sejak November tahun lalu, namun kini kenaikannya kian terasa sebagai efek tak langsung dari invasi Russia ke Ukraina. Presiden Russia, Vladimir Putin, seakan-akan menjadi biangnya, gara gara serangan ke Ukraina pasokan pangan di pasar global terganggu. Imbasnya, harga daging melonjak. Itu benar, tetapi senyatanya semua ini berpangkal dari lambatnya pemerintah mencapai swasembada daging.

Kemampuan produksi sapi nasional belum mencapai 70 persen dari total kebutuhan, kurang lebih 30 persen masih bergantung pada impor. Inilah yang membuat harga daging dalam negeri rentan bergejolak. Ketika harga di pasar internasional terganggu harga dalam negeri pun otomatis terganggu.

Hal yang sama juga terjadi pada kedelai yang mayoritas bersumber dari impor. Harga dalam negeri rawan bergejolak. Mogoknya pedagang daging sama dengan mogoknya pedagang tahu dan tempe, beberapa waktu lalu. Mereka memprotes meroketnya harga bahan baku untuk membuat tahu tempe.

Soal kedelai ini, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menegaskan ini cukup anomali, sebab sejak tahun 2015 lalu, pemerintah menerbitkan program Upsus Pajale (upaya khusus padi, jagung, dan kedelai), tetapi hingga sekarang justru produksi kedelai dalam negeri tak naik-naik.

Capaian produksi komoditas kedelai yang hanya 211.265 ton padahal rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 2.825.219 ton pada tahun 2021 lalu. Ini artinya, pemerintah harus mengimpor kedelai setiap tahunnya. Tahun 2022, impor kedelai sebesar 2.521.224 ton tanpa ada upaya untuk swasembada. "Artinya, perlu ada evaluasi. Kenapa ada masalah seperti ini padahal ada program prioritas kedelai," tegas Gunawan.

Adapun Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, menilai masalah harga kedelai ini selalu terulang setiap tahunnya. Kita selalu bergantung ke impor. "Ini karena ada rent seeking, ada fee yang diperoleh dari setiap kilogram kedelai yang diimpor," tegas Esther.

Sebenarnya, kata dia, kalau mau swasembada kedelai, Indonesia mampu, kuncinya adalah sediakan bibit bagus, menjamin pupuk ada di pasar dan affordable untuk petani, bimbingan teknis, dan sekolah lapangan bagi petani agar produksinya banyak dan kualitas bagus, peningkatan teknologi pascapanen, menjamin harga tidak anjlok pada saat panen, ketersediaan akses ke pasar, dan finansial bagi petani.

Hal yang sama juga terjadi pada daging. Ia menyoroti lemahnya program pemerintah, khususnya Kementan, dalam mendorong peningkatan produksi daging dalam negeri. Program integrasi sapi sawit serta Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) yang digembar-gemborkan lembaga penanggung jawab sektor peternakan itu dipandang jalan di tempat.

"Ini kan dari dulu, tetapi tidak ada efeknya. Nyatanya, kebergantungan impor masih tinggi. Itu kenapa ya karena gak ada good will," tegas Esther.

Stok Aman

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah, menyampaikan secara keseluruhan ketersediaan daging dan sapi untuk bulan Maret, April, hingga Mei mencukupi, baik dari sapi bakalan, sapi pedaging yang siap potong maupun daging beku.

Menurutnya, persoalan yang ada saat ini karena ada kepanikan-kepanikan dan ketakutan yang sengaja diisukan terkait dengan distribusi.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top