Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati

Pemda Diminta Lindungi Daya Beli Rakyat

Foto : ISTIMEWA

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati

A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah mengeluarkan sejumlah isyarat bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tak lama lagi naik. Terbaru, dalam kunjungannya ke Papua, Presiden Jokowi mulai membagikan bantuan langsung tuna (BLT) sebagai pengalihan BBM subsidi. Saat ini, pemerintah masih menghitung dengan hatihati kenaikan harga energi.

Rencana ini bukannya tak ditentang. Aksi demonstrasi dan kritikan dilancarkan sejumlah kalangan sebagai bentuk aksi protes. Sebab, tarikan kenaikan harga BBM banyak seperti harga-harga kebutuhan pokok. Selain itu, juga dikhawatirkan bakal mengerek inflasi, memukul daya beli masyarakat miskin, serta merusak pemulihan ekonomi yang tengah berjalan.

Namun, regulator menegaskan apabila tak ada kenaikan harga, beban APBN kian berat seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Ruang fiskal tahun depan juga semakin sempit. Kendatipun pilihan sulit, keputusan harus tetap diambil demi menjaga stabilitas anggaran.

Untuk mengupas lebih dalam problematika tersebut, wartawan Koran Jakarta, Fredrikus W Sabini, mewawancarai Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam sejumlah kesempatan. Berikut petikannya.

Seperti apa beratnya kondisi APBN 2022?

APBN Tahun 2022 menjadi shock absorber telah bekerja keras. Konsekuensinya, subsidi dan kompensasi energi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 jumlahnya meningkat tiga kali lipat dari APBN 2022 awal 152,5 triliun rupiah menjadi 502,4 triliun rupiah.

Dibanding subsidi dan kompensasi tiga tahun sebelumnya, 144,4 triliun rupiah pada 2019 dan menjadi 199,9 triliun rupiah pada 2020, lalu 188,3 triliun rupiah tahun 2021, maka kenaikan jumlah subsidi dan kompensasi tahun 2022 sangat besar. Jadi, kalau tahun ini subsidi kompensasi 502,4 triliun rupiah, bahkan kemungkinan akan melonjak di atas 690 triliun rupiah menjadi kenaikan yang sungguh sangat dramatis.

Apa tujuannya?

Lebih dari tiga kali lipat subsidi dan kompensasi ini untuk menahan agar daya beli masyarakat terus terjaga. Namun, dengan harga minyak mentah dan ICP yang masih dalam tren naik dan seiring pemulihan aktivitas ekonomi serta meningkatnya mobilitas, kuota BBM bersubsidi seperti solar dan pertalite diperkirakan akan habis pada Oktober 2022. Artinya, 502 triliun rupiah yang dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi energi pasti akan terlewati.

Dengan perkiraan rata- rata ICP dalam delapan bulan selalu di atas 100 dollar AS yaitu 105 dollar AS per barel dan kurs sekitar 14.700-14.800 rupiah, sedangkan volume subsidi diproyeksikan mencapai 29 juta kiloliter untuk pertalite dan 17,4 juta kiloliter untuk solar maka subsidi dan kompensasi mencapai 698 triliun rupiah. Badan Anggaran telah memberikan persetujuan 502,4 triliun rupiah. Jadi, potensi 195,6 triliun rupiah akan ditagihkan tahun depan. Ini yang akan mempersempit ruangan tahun anggaran 2023.

Opsi-opsi yang dipertimbangkan pemerintah?

Pemerintah tengah membahas keputusan BBM dengan tiga kombinasi, yakni apakah BBM tidak naik dengan risiko subsidi energi harus ditambah lagi, atau volumenya akan dikendalikan, atau naikkan harga BBM. Semua dampak dari kebijakan tersebut sedang dibahas. Tiga-tiganya nggak enak, APBN jelas akan sangat berat karena subsidi BBM sudah naik tiga kali lipat.

Subsidi energi dan kompensasi 2022 yang sebesar 502,4 triliun rupiah tidak cukup sampai akhir tahun. Hal itu akan terjadi jika konsumsi masyarakat seperti tujuh bulan terakhir. Kuota awal 23 juta kilo kiter (kl) diperkirakan akan membengkak menjadi 29 juta kl apabila tak ada kenaikan harga.

Kalau harga minyak terus di atas 100 per dollar AS per barel, kita perkirakan subsidi itu harus tambah lagi bahkan bisa mencapai 198 triliun rupiah di atas 502 triliun rupiah, nambah kalau kita tidak menaikkan BBM. Kalau tidak ada apa-apa, tidak dilakukan pembatasan, jumlah 502 triliun rupiah tidak akan cukup.

Benarkah penyaluran subsidi banyak dinikmati orang mampu?

Distribusi manfaat subsidi dan kompensasi energi saat ini lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat mampu. Hanya 5 persen subsidi solar dan 20 persen dari subsidi kompensasi pertalite dinikmati mereka yang berhak. Maka, Bapak Presiden kemarin menetapkan untuk mulai mengalihkan subsidi yang begitu besar untuk langsung diberikan kepada kelompok tidak mampu. Karena sungguh, kalau ratusan triliun rupiah, hanya 5 persen dan 20 persen dinikmati kelompok tidak mampu, dampaknya kesenjangan makin besar.

Terdengar pemerintah akan menyalurkan bantuan sebagai pengalihan subsidi BBM?

Sekali lagi, kami baru saja membahas dengan Bapak Presiden mengenai pengalihan subsidi BBM. Pemerintah akan memberikan tiga bantalan sosial sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM dengan total sebesar 24,17 triliun rupiah. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat yang terdampak lonjakan harga secara global. Bantalan sosial tambahan ini akan diberikan kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat sebagai BLT, pengalihan subsidi BBM sebesar 12,4 triliun rupiah.

BLT segera dibayarkan oleh Kementerian Sosial sebesar 150 ribu rupiah selama empat kali dengan total BLT 600 ribu rupiah untuk setiap penerima. Mensos akan membayarkannya dua kali, yaitu 300 ribu rupiah pertama dan 300 ribu rupiah kedua. Itu akan dibayarkan melalui berbagai saluran kantor pos untuk 20,65 juta keluarga penerima dengan anggaran 12,4 triliun rupiah Presiden juga menginstruksikan untuk membantu 16 juta pekerja dengan gaji maksimum 3,5 juta rupiah melalui pemberian bantuan subsidi upah sebesar 600 ribu rupiah dengan total anggaran sebesar 9,6 triliun rupiah. Nanti, Menakertrans akan menerbitkan juknisnya sehingga langsung bisa dibayarkan kepada para pekerja.

Adakah arahan juga untuk pemda?

Pemerintah daerah juga diminta untuk melindungi daya beli masyarakat. Kementerian Keuangan akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di mana 2 persen dari Dana Transfer Umum yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar 2,17 triliun rupiah untuk subsidi sektor transportasi, antara lain angkutan umum, ojek, dan nelayan, serta untuk perlindungan sosial tambahan. Ini diharapkan bisa mengurangi tekanan kepada masyarakat, bahkan mengurangi kemiskinan sehingga kita bisa memberikan dukungan kepada masyarakat yang memang dalam hari-hari dihadapkan pada tekanan terhadap kenaikan harga.

Memangnya bagaimana perkembangan harga minyak mentah global, sehingga bansos ini disiapkan?

Semenjak menyampaikan tambahan subsidi dan kompensasi untuk BBM dan listrik kepada DPR, harga minyak mentah dan ICP tidak kunjung turun, justru menunjukkan tren yang semakin meningkat. Melihat outlook harga minyak sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukkan harga minyak di 104,8 dollar AS per barel dan berdasarkan forecast konsensus harga minyak bahkan mencapai 105 dollar AS.

Jadi, waktu kita membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sudah dibahas dengan DPR harga minyak 100 dollar AS per barel, jelas menurut forecast dari konsensus maupun organisasi energi 100 dollar AS perbarel. Itu lebih rendah dari kemungkinan realisasi. Pekan lalu, (26/8), kita juga lihat harga minyak masih di atas 100 dollar AS.

Lalu, bagaimana dengan harga BBM di sini ketika harga minyak mentah dunia meroket?

Meskipun harga minyak mentah dan ICP terus meningkat, harga jual eceran (HJE) energi untuk masyarakat tidak berubah karena ada subsidi pemerintah, jauh lebih rendah dari harga keekonomiannya. Saat ini harga solar 5.150 rupiah per liter. Jika menggunakan ICP 105 dollar AS dan kurs rupiah 14.700 rupiah per dollar AS, harga solar harusnya 13.950 rupiah per liter.

Jadi, harga yang dijual kepada masyarakat hanya 37 persennya. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapat subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu 8.800 rupiah per liter. Kemudian untuk pertalite yang saat ini 7.650 rupiah per liter, harusnya 14.450 rupiah per liter. Artinya, harga pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari seharusnya.

Selanjutnya untuk pertamax pun yang sekarang 12.500 rupiah per liter, seharusnya 17.300 rupiah per liter. Jadi bahkan pertamax sekalipun yang dikonsumsi mobil-mobil bagus, berarti yang pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi 4.800 rupiah.

Kalau LPG?

LPG yang sekarang harga per kilo 4.250 rupiah. Kalau mengikuti harga murni harusnya 18.500. Jadi setiap kilogram LPG, konsumen mendapatkan subsidi 14.250 rupiah. Kalau setiap kali beli LPG 3 kilogram kg, kita bayangkan maka mereka mendapatkan 42.000 rupiah lebih.

Bagaimana dengan APBN 2023?

APBN Tahun 2023 masih menjadi instrumen yang menjawab tantangan dari sebelumnya disebabkan oleh pandemi Covid-19 menjadi risiko global seperti terjadinya lonjakan inflasi akibat kenaikan harga barang seperti pangan dan energi karena disrupsi supply. Ini menyebabkan disrupsinya menjadi sangat eksesif sehingga terjadilah inflasi yang melonjak pada barang-barang atau permintaan mulai meningkat dengan proses pemulihan ekonomi.

Pemerintah terus mewaspadai lingkungan global ini. Bahkan IMF telah menurunkan proyeksi ekonomi dunia dengan kombinasi yang sangat tidak baik yaitu pertumbuhan ekonominya di revisi ke bawah dan inflasi direvisi ke atas. Pada tahun 2023, proyeksi negara maju 6,6 persen dengan pertumbuhan ekonomi 1,4 persen. Sedangkan pada negara berkembang proyeksi inflasi diperkirakan 9,5 persen dengan pertumbuhan ekonomi 3,9 persen.

Sikap kita?

Inilah kondisi yang harus kita waspadai memasuki tahun 2023 di mana kita harus mendesain APBN 2023 dengan hati-hati. Meskipun Indonesia mencapai precovid level dengan pertumbuhan momentumnya masih menguat. Bahkan kuartal kedua kemarin momentum recovery-nya sangat impresif di 5,44 persen dan inflasi masih dijaga di level di bawah 5 persen, kita tidak boleh dalam terlena.

Oleh karena itu, mengingat APBN Tahun 2023 akan tetap menjadi instrumen yang menentukan maka tema APBN 2023 yaitu optimis dan tetap waspada. Optimis karena di satu sisi pemulihan ekonomi kuartal I dan II-2022 di atas 5 persen. Inflasi masih relatif terjaga dan pemulihan di berbagai sektor cukup merata. Namun, kewaspadaan menjadi sangat tinggi karena syok yang muncul akibat disrupsi global ini sangat besar dan penyebabnya karena kondisi geopolitik yang tidak selesai dalam waktu dekat.

Kita nggak pernah tahu perang itu akan berakhir dan dalam bentuk apa kiranya. Ini yang menyebabkan ketidakpastian yang sangat tinggi. Oleh karena itu, policy dan instrumen policy kita seperti APBN harus tetap menjaga secara waspada.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top