Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Vampire Algae

Pembunuh Ganggang yang Ancam Industri Biofuel

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Analisis DNA baru telah mengungkapkan keragaman genetik yang mengejutkan dalam bakteri yang menimbulkan ancaman terus-menerus terhadap industri biofuel alga.

Dengan nama evokatif Vampirovibrio chlorellavorus, hama predator menghisap isi sel-sel ganggang (di referensikan sebagai vampire algae) dan mengurangi kolam ganggang hijau yang produktif, berkembang pesat menjadi tong lumpur yang membusuk.

"Sekuens DNA menunjukkan spesies yang mungkin berbeda, menunjukkan keragaman yang jauh lebih besar dalam keluarga ini daripada yang kita duga. Itu berarti pengobatan untuk satu hama ganggang mungkin tidak bekerja untuk yang lain, yang bisa menjadi masalah besar untuk budidaya ganggang skala besar di masa depan," kata Blake Hovde, ahli biologi dari Laboratorium Nasional Los Alamos, New Mexico, Amerika Serikat (AS).

Tim peneliti mengurutkandua strain Vampirovibrio dari kolam yang sama. Dua sampel yang dikumpulkan terpisah satu tahun berasal dari sistem budidaya alga luar ruangan di Gurun Sonora Arizona (AS) yang dijalankan oleh kolaborator Universitas Arizona Seth Steichen dan Judith Brown. Tim peneliti mengurutkan dan menganalisis genom untuk mengidentifikasi gen yang terlibat dalam pemangsaan, infeksi dan kematian sel ganggang Chlorella yang berharga yang menjadi target bakteri.

"Analisis genomik kami mengidentifikasi beberapa gen yang diprediksi yang menyandikan protein yang dikeluarkan yang berpotensi terlibat dalam patogenisitas, dan setidaknya tiga set gen virulensi (Vir) yang tampaknya lengkap. Gen-gen itu adalah karakteristik bakteri yang melakukan invasi sel," kata Hovde.

Dengan ganggang Chlorella yang dinilai sebagai sumber utama biomassa yang dapat dipanen untuk biofuel dan bioprodu. "Ini sangat berguna untuk dapat meningkatkan pemahaman mendasar tentang interaksi antara patogen bakteri yang unik dan inang alga hijaunya," kata Hovde.
Hasil penelitian ini memiliki relevansi langsung dengan keberhasilan proyek-proyek produksi alga komersial skala besar yang sedang berlangsung untuk memajukan keamanan energi AS (biofuel) dan produksi bahan baku akuakultur dan nutraceuticals berbasis-alga.

Untuk pekerjaan di masa depan, tim ini menindaklanjuti dengan proyek Joint Genome Institute untuk mengkarakterisasi enam genom hama dari keluarga yang sama untuk melihat apakah keragaman organisme ini terus berkembang, atau jika para peneliti dapat mulai mengkategorikan hama ini menjadi spesies atau kelompok. gma/R-1

Kebutuhan Energi Terbarukan

Bukan hal yang dapat dipungkiri bahwa kebutuhan energi semakin hari semakin besar sebanding dengan meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor, mobil dan motor-motor lainnya. Saat ini, dunia masih mengelami ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Atas dasar masalah di atas, maka dibutuhkan bahan bakar alternatif untuk mengurangi atau bahkan mengganti bahan bakar fosil yang tak terbaharui tersebut. Akhir akhir ini kita sering mendengar tentang sumber energi biodiesel yang mulai marak, walaupun dalam jumlah tidak banyak. Biodiesel merupakan salah satu derivat dari biofuel.

Biofuel hadir sebagai salah satu alternatif sumber energi untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Biofuel atau yang sering disebut juga bahan bakar hayati adalah sumber energi yang berasal dari bahan organik yang dibuat dari tumbuhan maupun hewan. Biofuel mempunyai sifat dapat diperbaharui, artinya bahan bakar ini dapat dibuat oleh manusia dari bahan-bahan yang bisa ditumbuhkan atau dibiakkan.

Dalam perkembangannya biofuel mengalami metamorfosis mulai dari generasi pertama, kedua dan ketiga. Dari ketiga generasi tersebut yang membedakan adalah source produksi biofuel itu sendiri.

Biofuel generasi pertama diproduksi dari sumber makanan, dimana sumbernya mudah untuk diolah. Bahan makanan tersebut mengandung gula, starch atau minyak nabati. Contohnya singkong, jagung, dan ubi. Proses pembuatannya cenderung mudah karena ekstraksi biofuel dari ketiga senyawa tersebut tidak memerlukan proses rumit. Namun, dalam pengaplikasianya biofuel ini mengalami banyak kontroversi. Hal yang pertama adalah dilematika antara bahan pangan dengan energi karena selain masih banyak saudara kita yang mengalami krisis pangan, penggunaan bahan pangan untuk energi juga dikhawatirkan dapat menganggu ketersediaan bahan pangan masa depan.

Generasi kedua dari biofuel menggunakan bahan yang mengandung lignocellulosic seperti kayu dan limbah-limbah kegiatan pertanian. Meski proses pembuatan biofuel generasi ini lebih kompleks dibanding generasi pertama, biofuel generasi kedua ini berbahan dasar bukan pangan, sehingga sudah tak ada permasalahan 'energi versus pangan' pada generasi ini. Analoginya generasi pertama kita seperti membuat mie dengan bahan baku tepungnya, generasi kedua ini kita membuat mie dengan tepung yang kita harus buat dari ubi terlebih dahulu. Generasi ini tentunya dapat mengurangi sampah dan dapat berlangsung terus menerus seiring dengan kebutuhan pangan manusia.

Biofuel generasi ketiga merupakan biofuel berbasis dari alga. Apa itu alga? Alga merupakan tumbuhan uniseluler (bersel satu) ataupun multiseluler (bersel banyak) yang memiliki kecepatan tumbuh sangat tinggi yang hidup di perairan laut atau tawar. Jumlah spesies dari alga diperkirakan berjumlah di atas 50.000.

Dikarenakan strukturnya lebih sederhana dan kecepatan tumbuhnya lebih cepat, saat ini mikro alga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi biofuel dibandingkan makroalga. Mikroalga dapat dibudidayakan di dalam kolam terbuka atau dengan mesin khusus yang disebut inkubasi bioreaktor.

Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat membelah beberapa kali dalam sehari. Apabila dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti jarak atau kelapa sawit, Alga dapat memproduksi paling sedikit produk minyak 15 kali lebih banyak per hektarnya. gma/R-1

Bagaimana Biofuel di Indonesia?

Setelah pemaparan potensi dan keuntungan dari mikroorganisme ini, tentu kita bertanya-tanya dalam hati kapan implementasinya di Negara kita? Sudah sejauh mana aplikasinya hingga hari ini?

Padahal tidak sedikit penelitian-penelitian di negara kita mengenai optimasi pemanfaatan Alga untuk biofuel ini. Sayangnya, peneliti-peneliti harus lebih kerja keras menginggat jumlah spesies Alga yang tidak sedikit dan banyak faktor yang mempengaruhi proses pengolahan baik sebelum atau sesudah panen alga.

Sesungguhnya Alga sudah dilirik sebagai bahan bakar sejak lama. Bukan hal yang dipungkiri bahwa untuk urusan potensi teknologi dalam pengolahan alga Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara lain Amerika Serikat, Jepang dan banyak dari negara Eropa. Tetapi, yang perlu kita ingat adalah, Indonesia memiliki sumberdaya mikroalga yang sangat kaya. Ada banyak jenis mikroalga yang bisa dikembangkan menjadi biofuel di Indonesia, contohnya dari genus spirullina, tetraselmis, chlorella, scenedesmus, anabaena dan masih banyak lagi.

Apabila potensi dan keunggulan-keunggulan makhluk ini ini terus dibiarkan hanya sebatas penelitian saja? Tentu rintangan di depan masih banyak baik dari teknologi yang menyebabkan harga pengolahan yang masih mahal maupun optimasi pembiakan dari alga itu sendiri. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top