Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kedaulatan Pangan I Tanpa Perencanaan yang Terarah, Pembangunan Bakal Kacau

Pembinaan Petani Harus Jadi Misi Strategis Negara

Foto : Sumber: Global Food Security Index 2020 –Litbang K
A   A   A   Pengaturan Font

» Wacana memindahkan Pindad dan PTDI dari Bandung ke Kertajati merupakan keputusan yang kurang tepat.

» Kertajati itu dari awal sudah tidak feasible, pasti gagal. Jika dipaksakan, akan tambah gagal.

JAKARTA - Rencana jangka panjang pemerintah Tiongkok untuk mengonversi tanah gersang, khususnya gurun pasir menjadi lahan-lahan pertanian patut ditiru. Sebab, pemerintah negara ekonomi terbesar kedua dunia itu menyadari kalau kebutuhan pangan menjadi hal yang paling krusial di masa mendatang, terutama karena Tiongkok memiliki populasi terbesar di dunia.

Kondisi tersebut sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Beruntung, dikaruniai alam yang subur, namun belakangan mulai mencemaskan dengan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi hutan beton seperti pembangunan Bandar Udara Kertajati di Jawa Barat.

Wacana memindahkan PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia dari Bandung ke Kertajati oleh Kementerian BUMN misalnya, dinilai sebagai salah satu keputusan yang kurang tepat. Di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dua perusahaan tersebut dipertahankan keberadaannya di Bandung karena dekat dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai brainware-nya.

Guru Besar Teknik dan Management Irigasi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sigit Supadmo Arif, yang diminta pendapatnya, Senin (5/4), mengatakan tanpa landasan perencanaan jangka panjang yang jelas dan terarah, pembangunan berpotensi menjadi kacau. Apalagi, kental dengan nuansa politis di tubuh pemerintahan dan koalisi yang datang dari beragam partai politik. "Hal itu menyebabkan masing-masing menteri membawa misinya sendiri-sendiri," kata Sigit.

Dalam hal yang paling mendasar, jelas Sigit, seperti pangan dinilai hingga saat ini belum jelas arah dan tujuannya dalam jangka panjang. Hal yang sangat terasa adalah ego sektoral karena anggarannya pun berbasis sektoral.

Akibatnya, tidak ada yang bertanggung jawab terhadap hal yang menyangkut kebutuhan kelangsungan hidup 270 juta penduduk. Padahal, di era Presiden Soekarno dan Soeharto, pangan menjadi prioritas utama kebijakan dan digariskan dalam program pembangunan jangka panjang. Pembinaan petani menjadi misi strategis negara, melebihi alutista. Sebab, kalau rakyat lapar, tidak mungkin bisa tercipta keamanan nasional.

Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi di era reformasi yang cenderung menjalankan program jangka pendek yang tidak jelas ke mana arahnya dan lebih terkesan berbasis proyek. Program komersial tersebut cenderung merusak program jangka panjang yang menyebabkan Indonesia tidak bisa maju.

Tiongkok saja menginginkan 50 persen daratannya jadi daerah pangan, Indonesia malah lahan subur ditutupi beton. Ke depan, bukan barang konsumen saja yang diimpor dari Tiongkok, tapi juga impor pangan.

Pemerintah pun dituntut harus belajar mengevaluasi kegagalan di masa lalu yang gencar mencetak sawah di lahan gambut. Sebaliknya, tanah yang subur malah dibangun jadi hutan beton.

"Kertajati itu dari awal sudah tidak feasible, pasti gagal. Jika dipaksakan, akan tambah gagal. Sebab itu, program yang sudah terencana dengan baik seperti mendekatkan Pindad dan PT DI dengan ITB di Bandung, jangan dirusak untuk menutupi proyek gagal," pungkasnya.

Turun Tangan

Secara terpisah, Pemerhati Ekonomi Perdesaan dari Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, mengatakan pemerintah harus turun tangan menekan alih fungsi lahan pertanian.

"Memang ada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tapi kenyataannya di lapangan apakah sesuai dengan aturan yang ada, bagaimana pengawasannya selama ini. Sementara kita tahu, ekonomi desa sangat bertumpu pada bidang agraria, dan sekarang jelas-jelas produksi pangan turun dan kita terpaksa impor," kata Imron.

Pengaturan tata ruang yang ada, jelas tidak mendukung program kemandirian pangan. Lemahnya daya saing petani akibat kebijakan impor membuat alih fungsi lahan berlangsung begitu cepat seiring kebutuhan yang pesat untuk pembangunan properti.

"Secara tidak langsung, kalau petani ingin tetap hidup, mereka terpaksa menjual lahannya. Kalau reformasi agraria dijalankan dengan benar, akan memberikan ekses positif dalam penguatan produksi pangan," tutup Imron. n SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top