Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pelanggaran Impor | Program Wajib Tanam Gagal dalam Memacu Produksi Bawang Putih

Pemberian RIPH Diduga Malaadministrasi

Foto : ISTIMEWA

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ombudsman RI menduga adanya malaadministrasi dalam penerbitan dan pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta persyaratan wajib tanam bawang putih. Adapun Kementerian Pertanian (Kementan) membantah dan menegaskan pelaksanaannya sudah sesuai ketentuan.

"Empat dugaan malaadministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum atau tidak memberikan pelayanan, dugaan penundaan berlarut, dugaan tidak kompeten, dan dugaan melampaui wewenang dalam pelayanan RIPH dan kebijakan wajib tanam bawang putih akan kita uji dalam pemeriksaan," terang anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, di Jakarta, pekan ini.

Kepada Ombudsman, sejumlah pelaku usaha mengeluhkan adanya kendala dalam aistem akses RIPH yang sering tidak bisa diakses pada jam kerja. Selain itu juga dikeluhkan proses permohonan RIPH yang selesai melebihi standar waktu layanan sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 tentang RIPH, yakni delapan hari kerja.

"Hal ini mengindikasikan adanya potensi malaadministrasi tidak memberikan layanan dan penundaan berlarut dalam penerbitan RIPH," ujar Yeka.

Terkait wajib tanam sebagai salah satu persyaratan penerbitan RIPH, Yeka mengatakan pihaknya mendapatkan informasi adanya modus pendirian perusahaan baru oleh pemain lama, daripada melakukan wajib tanam. Dia beralasan biaya mendirikan perusahaan baru lebih murah daripada melaksanakan wajib tanam.

"Wajib tanam merupakan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum RIPH-nya terbit. Misalnya saja suatu perusahaan berkomitmen melakukan wajib tanam 100 hektare dengan target produksi misalnya 200 ton bawang putih, maka perusahaan tersebut berhak mendapatkan persetujuan impor sebesar 4.000 ton bawang putih dalam setahun," jelas Yeka.

Namun pada kenyataannya, Ombudsman menemukan cukup banyak importir memilih tidak melaksanakan wajib tanam setelah mendapatkan persetujuan impor tersebut. Mereka lebih memilih untuk mendirikan perusahaan baru dalam pengajuan persetujuan impor bawang putih tahun berikutnya.

"Wajib tanam sudah berlaku sejak 2017. Tetapi, lihat perkembangannya dari tahun ke tahun rata-rata jumlah produksi bawang putih 40-45 ribu ton. Data ini menunjukkan bahwa program wajib tanam gagal dalam meningkatkan produksi bawang putih," tegas Yeka.

Nantinya, Ombudsman akan memberikan saran perbaikan terkait wajib tanam ini. Yeka mengatakan wajib tanam perlu dievaluasi dan dialihkan program yang lain.

Selain itu, Ombudsman RI juga menemukan laporan dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Yeka menjelaskan berdasarkan keterangan informan, mereka mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian berkisar antara 200-250 rupiah per kilogram (kg) untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih yang sedang diurus.

"Ada 210 importir hortikultura pada 2023, nanti kita cek. Setelah pemeriksaan akan ada tindakan korektif kepada Kementerian Pertanian," ujarnya.

Dalam pemeriksaan pada 16 Januari lalu, Ombudsman memeriksa Direktur Jenderal Hortikultura Kementan selaku pihak yang didelegasikan untuk menerbitkan RIPH berdasarkan Pasal 4 Permentan Nomor 39 Tahun 2019 tentang RIPH. Namun, Dirjen Hortikultura tidak hadir sehingga Ombudsman akan melayangkan surat pemanggilan kedua.

Sesuai Ketentuan

Direktur Jenderal Hortikultura (Dirjen Hortikultura), (Kementan), Prihasto Setyanto, memastikan layanan RIPH akan terus dipastikan sesuai ketentuan.

Dirinya tidak akan menoleransi apabila benar ditemukan perilaku korupsi dan pungutan liar dalam pelayanan penerbitan RIPH.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top