Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Polemik Pembelian Senjata

Pembelian 500 Pucuk Senjata untuk Sekolah Intelijen BIN

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Polemik soal pembelian 500 pucuk senjata laras pendek telah melebar dan menimbulkan persepsi beragam di masyarakat. Karena itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, meluruskan bahwa pembelian senjata itu untuk keperluan sekolah intelijen BIN.

"Setelah ditanyakan, ternyata ini berhubungan dengan 500 pucuk senjata buatan PT Pindad yang diperuntukkan bagi sekolah intelijen Badan Intelijen Negara atau BIN. Jadi bukan buatan luar negeri dan pengadaannya pun didanai oleh APBN," ujar Wiranto dalam keterangan pers di Kantor Polhukam, Minggu (24/9). Wiranto mengatakan, informasi dari Panglima TNI tentang adanya institusi di luar TNI dan Polri yang akan membeli 5.000 pucuk senjata standard TNI, tidak pada tempatnya dihubungkan dengan eskalasi kondisi keamanan, karena ternyata hanya adanya komunikasi antar institusi yang belum tuntas Wiranto mengaku sudah melakukan komunikasi dengan Kapolri, TNI, BIN, dan sejumlah pihak lain yang terkait.

"Karena itu, pengadaan senjata ini tidak perlu mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan prosedur, pengadaan senjata semacam ini hanya perlu minta izin dari Mabes Polri. "Dan bukan (izin) dari Mabes TNI. Izin sudah diajukan," ujarnya. Sementara itu mengenai polemik penayangan Film G 30 S/PKI, dan ajakan untuk nonton bareng bagi beberapa institusi menurut Menko Polhukam Wiranto merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. Wiranto mengatakan, tragedi 30 September 1965 adalah peristiwa sejarah kelam bangsa Indonesia.

"Masih banyak peristiwa serupa yang dialami bangsa Indonesia seperti pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, peristiwa Malari di tahun 1974 yang semua itu adalah rangkaian fakta sejarah yang sudah berlalu," katanya. Ia menjelaskan bahwa pemerintah tidak mungkin memutar kembali jarum jam dan mengubah fakta sejarah sekehendak kita. Karena, sejarah tersebut merupakan perjalanan bangsa yang dapat dijadikan referensi bangsa untuk menatap ke masa depan.

"Menonton film sejarah memang perlu bagi generasi berikutnya untuk memahami sejarah kebangsaan Indonesia secara utuh. Kita tak perlu malu, marah atau kesal menonton film sejarah. Ajakan atau anjuran menonton tak perlu dipolemikkan apalagi sampai membuat bangsa ini bertengkar dan berselisih," jelas dia. Wiranto pun menilai anjuran Presiden untuk mempelajari sejarah kebangsaan dengan menyesuaikan cara penyajian agar mudah dipahami oleh generasi Milenium, merupakan kebijakan yang rasional. fdl/AR-3

Penulis : Muhamad Umar Fadloli

Komentar

Komentar
()

Top