Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Pembayaran Layanan Utang Negara-negara Termiskin Melonjak 35 Persen Menjadi US$62 Miliar

Foto : Istimewa

Presiden Bank Dunia, David Malpass.

A   A   A   Pengaturan Font

NEW YORK - Bank Dunia dalam laporan utang tahunan yang diterbitkan pada Selasa (6/12), negara-negara termiskin di dunia mengalami lonjakan pembayaran layanan utang sekitar sepertiga menjadi lebih dari 62 miliar dollar AS pada 2022 dari tahun sebelumnya, dan biaya-biaya ini akan terus mengalihkan sumber daya dari kesehatan dan pendidikan tahun depan karena bunga atas pembayaran yang ditangguhkan bertambah.

"Tekanan likuiditas yang meningkat di negara-negara miskin berjalan seiring dengan tantangan solvabilitas, menyebabkan kelebihan utang yang tidak berkelanjutan bagi puluhan negara," kata pemberi pinjaman itu.

Dikutip dari The Straits Times, utang publik mencapai rekor tertinggi di negara-negara kaya dan miskin selama pandemi, dengan total utang luar negeri global naik 5,6 persen menjadi 9 triliun dollar AS pada akhir 2021 dari tahun sebelumnya.

Untuk negara-negara yang paling rapuh, kerentanan fiskal dan utang yang tinggi telah merusak stabilitas ekonomi.

"Krisis utang di negara-negara termiskin di dunia semakin meningkat," kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, mengulangi pandangannya bahwa risiko stagflasi di mana harga-harga meningkat dan pertumbuhan ekonomi terhenti, semakin meningkat dan bisa jadi akan terjadi resesi global tahun depan. "Jelas bahwa ini adalah situasi yang mengerikan," tambahnya.

Para kepala lembaga keuangan internasional terbesar di dunia telah lama membunyikan alarm tentang rekor tingkat utang global, terutama karena otoritas moneter harus menaikkan suku bunga untuk memadamkan percepatan inflasi.

Sementara forum negara-negara Kelompok 20 (G-20) mengizinkan 48 negara miskin untuk menunda pembayaran 8,9 miliar dollar AS dari Mei 2020 di bawah apa yang disebut Inisiatif Penangguhan Layanan Utang atau Debt Service Suspensions Initiative (DSSI), membebaskan dana untuk melawan dampak pandemi Covid-19, penangguhan itu berakhir pada Desember tahun lalu.

"Pembayaran yang dijadwalkan untuk tahun 2023 dan 2024 kemungkinan akan tetap meningkat karena suku bunga tinggi, pokok pinjaman yang jatuh tempo, dan penggabungan bunga atas penangguhan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang," kata Bank Dunia.

"Selama penangguhan DSSI, 48 negara masih membayar layanan utang sebesar 99 miliar dollar AS, setara dengan sekitar 4 persen dari pendapatan nasional bruto rata-rata gabungan mereka pada 2020 dan 2021," kata bank tersebut.

"Utang yang dimiliki oleh 74 negara termiskin di dunia, yang merupakan bagian dari Asosiasi Pembangunan Internasional Bank Dunia atau Negara-negara International Development Association (IDA), telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak 2010," kata Malpass.

Negara-negara IDAberutang kepada negara-negara seperti Tiongkok, India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab sekitar 138,3 miliar dolar AS pada akhir 2021.

"Itu lebih dari dua kali lipat dari apa yang harus dibayar oleh mereka kepada Klub Paris dari negara-negara pengutang kaya tradisional sebesar 64,2 miliar dollar AS," kata Bank Dunia.

"Pangsa Tiongkok dari stok utang bilateral resmi tumbuh dari menjadi 49 persen pada tahun 2021 dari 18 persen pada tahun 2010, dengan aliran layanan utang ke negara tersebut diperkirakan mencapai 17 miliar dollar AS pada 2022 dan menyumbang 66 persen dari layanan utang bilateral resmi," kata bank tersebut.

"Kreditor swasta menyumbang 61 persen dari utang publik dan yang dijamin publik dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2021, naik dari 46 persen pada tahun 2010," kata bank tersebut.

"Dengan negara-negara miskin meminjam lebih banyak dari kreditor swasta, persyaratan rata-rata komitmen pinjaman baru telah mengeras: jatuh tempo rata-rata pinjaman dari kreditor swasta selama periode ini adalah 12 tahun, dibandingkan dengan 26 tahun untuk pinjaman dari kreditor resmi," kata bank tersebut.

Tingkat bunga rata-rata adalah 5 persen, atau 3 poin persentase lebih tinggi daripada tingkat bunga rata-rata 2 persen pada pinjaman dari kreditor resmi.

Bank menemukan bahwa negara-negara miskin yang memiliki utang tinggi mampu mendiversifikasi risiko pembiayaan dengan memiliki basis kreditor yang lebih tersebar.

Namun, pada saat krisis, memiliki lebih banyak kreditor kemungkinan akan memperburuk masalah tindakan kolektif dan pembagian beban oleh para kreditor, yang mengarah ke proses restrukturisasi yang lebih lama dan lebih mahal.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top