Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pembahasan Rancangan KUHP Jangan Asal Cepat

Foto : Istimewa

Ilustrasi RKUHP.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pembahasan Rancangan KUHP jangan asal cepat. Harus ada evaluasi komprehensif berbasis data dan melibatkan tidak hanya ahli hukum pidana.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Jakarta, Rabu (24/3).

Menurut Erasmus, seperti diketahui, pemerintah mengusulkan RKUHP untuk masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2021 pada bulan Juli atau Agustus 2021. Berbagai perwakilan pemerintah menyatakan RKUHP agar dapat disahkan tahun ini.

"Kami dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan RKUHP tidak dapat disahkan begitu saja, masih ada pekerjaan rumah pembahasan di DPR yang harus bisa diakses publik," katanya.

Pemerintah, kata Erasmus, tidak boleh terburu-buru. Asal cepat dan hanya melakukan sosialisasi. Ia pun mengingatkan, bahwa RKUHP ditunda pengesahannya karena masalah substansi. Maka pembahasan selanjutnya harus membuka ruang untuk perubahan substansial RKUHP yang tidak hanya melibatkan ahli hukum pidana namun juga melibatkan multistakeholder dan ahli luas yang sektornya akan terdampak seperti ahli ekonomi, bisnis, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, kriminologi dan ilmu relevan lainnya.

"Serta yang tidak kalah penting melibatkan masyarakat sipil guna menjamin adanya evaluasi komprehensif berbasis data dan dan tidak hanya melakukan sosialisasi RKUHP yang tidak demokratis," ujarnya.

Erasmus menambahkan, pada 4 Maret 2021 lalu, Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM mengatakan pemerintah saat ini tengah menyisir ulang terhadap 14 isu krusial dalam RKUHP. Tapi berdasarkan pemantauan dan catatan kritis Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mulai draft RKUHP 2015 sampai dengan draft RKUHP 2019, masalah RKUHP bukan menyisakan 14 permasalahan yang perlu diselesaikan sebagaimana klaim pemerintah. Melainkan 24 masalah.

"Antara lain, yang tidak masuk dalam 14 masalah versi pemerintah, antara lain pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat, penyimpangan asas legalitas atau kriminalisasi yang tidak jelas, masalah pidana mati bertentangan dengan tujuan pemidanaan, pengaturan "makar" Pasal 167 RKUHP yang tidak tepat, lalu, pengaturan tindak pidana penghinaan Pasal 439-448 RKUHP yang masih memuat pidana penjara sebagai hukuman dan berbagai jenis permasalahan lain yang luput dari bahasan pemerintah," urainya.

Erasmus juga menyinggung pernyataanMenko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan jika ada perbaikan KUHP dipersilahkan menempuh legislative review atau judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya ini justru menunjukkan arogansi negara dan menutup ruang diskusi perubahan RKUHP. Pemerintah harus ingat protes masyarakat pada September 2019 lalu subtansial, bahkan harus ada nyawa yang hilang.

"Jangan negera mengabaikan hal ini dengan memaksakan pengesahan tanpa ada pembahasan yang bisa diakses dan dipertanggungjawabkan ke publik. Sebagai catatan mendasar, sejak September 2019 hingga saat ini, Pemerintah tidak pernah memberikan kepada publik perkembangan draft RKUHP," katanya.

Untuk itu, kata dia, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah agar melakukan pembahasan ulang dengan tim ahli yang lebih luas. Pelibatan stakeholder dan bukan sekadar sosialisasi RKUHP. Serta membuka seluas-luasnya perkembangan pembahasan draft RUU RKUHP terbaru dan catatan rapat terkait pembahasan substansi RKUHP sepanjang 2020-2021 yang pernah dilakukan kepada publik.

"Karena hal itu tetap harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan DPR pada seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top