Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Korupsi Massal - 38 Anggota DPRD Sumut Jadi Tersangka

Pembahasan Anggaran Harus Transparan

Foto : ANTARA/WAHYU PUTRO A

Ketua KPK Agus Rahardjo bersiap memberikan keterangan pers mengenai penetapan tersangka baru di gedung KPK, Jakarta. KPK menetapkan 38 anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka terkait penerimaan suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dalam menjalankan fungsi dan kewenangan seperti persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut tahun anggaran 2012, persetujuan perubahan APBD 2013, pengesahan APBD 2014 dan 2015, persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut 2014, serta penolakan penggunaan hak interpelasi pada 2015.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, mengatakan untuk mencegah terjadinya korupsi massal di legislatif, maka pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif harus berlangsung transparan.

"Saya di banyak kesempatan mengusulkan bagaimana misalkan planning dan budgeting diselenggarakan dalam sistem yang transparan sehingga rakyat bisa mengawasi. Itu cara meminimalkan praktik yang selama ini terjadi," ujar Agus saat mengumumkan status tersangka 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/4).

Agus menegaskan kasus suap yang melibatkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 merupakan bentuk korupsi massal. Ke-38 anggota DPRD Sumut periode tersebut diketahui menerima suap dari mantan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Suap itu terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk Tahun Anggaran 2012-2014 oleh DPRD Sumut, Persetujuan Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013-2014 oleh DPRD Sumut. Kemudian, terkait pengesahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2014-2015 dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut pada 2015.

Agus mengatakan para anggota dewan di Sumut itu memanfaatkan kewenangan mereka sebagai pintu untuk kong kalikong dengan pihak eksekutif, dalam hal ini Gatot selaku gubernur. "Kasus ini menunjukkan korupsi dilakukan secara massal dengan memanfaatkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan legislatif, sebagai pintu yang membuka peluang terjadinya kongkalikong antara eksekutif dan legislatif," kata Agus.

Kongkalikong itu, lanjut Agus, untuk mengamankan kepentingan masing-masing, atau mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Agus mengatakan salah satu cara agar kasus korupsi yang menjerat anggota dewan tidak terulang, proses pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif harus berlangsung transparan.

Peran Masyarakat

Kemudian, lanjut Agus, pencegahan agar hal korupsi seperti ini tidak terulang juga membutuhkan peran serta masyarakat. Caranya yakni memilih wakil rakyat dengan melihat rekam jejak mereka. Pilihlah wakil rakyat yang berintegritas. "Jadi, jangan memilih seseorang karena diberi sesuatu, tetapi mari kita melihat track record-nya, integritas orang itu sangat penting," ujar Agus.

Ketika ditanya berapa fee yang diberikan untuk tiap-tiap anggota DPR, Agus menjelaskan 38 angota DPRD Sumut itu, masing-masing menerima berkisar antara 300 juta rupiah sampai 350 juta rupiah. "Indikasi penerimaan, penyidik dapat fakta yang didukung surat dan barang bukti elektronik, ke-38 itu diduga menerima fee 300-350 juta rupiah dari Gubernur Sumut," kata Agus.

Ketiga puluh delapan anggota dan mantan anggota DPRD Sumut yang jadi tersangka itu, antara lain adalah Rijal Sirait, Rinawati Sianturi, Rooslynda Marpaung, Fadly Nurzal, Abu Bokar Tambak, Enda Mora Lubis, M Yusuf Siregar. Kemudian, Muhammad Faisal, DTM Abul Hasan Maturidi, dan Biller Pasaribu.

mza/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Mohammad Zaki Alatas

Komentar

Komentar
()

Top