Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Pembangunan

Pelemahan Rupiah Picu Kemiskinan

Foto : ANTARA/Rivan Awal Lingga
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, yang mencapai lebih dari 12 persen sepanjang tahun ini, dinilai bakal menaikkan harga pangan karena tingginya impor pangan Indonesia. Akibatnya, angka kemiskinan berpeluang besar meningkat.

Pengamat ekonomi, Marwan Batubara, mengatakan ketika rupiah melemah dan dollar AS menguat dapat menyebabkan kemiskinan bertambah karena tidak sedikit bahan pangan yang berasal dari impor. Contohnya, tempe yang bahan bakunya adalah kedelai. Padahal, kedelai dipasok dari negara lain.

"Jagung pun impor nanti untuk makanan ayam. Garam pun impor. Jadi, kalau kita bilang kondisi ekonomi semakin baik, saya kira seharusnya impor berkurang. Tapi yang terjadi impor meningkat. Itu artinya semakin bermasalah, " kata dia, di Jakarta, Minggu (14/10). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang atau 9,82 persen dari total populasi.

Jumlah warga miskin itu berkurang dibandingkan pada September 2017 yang sebanyak 26,58 juta orang. Angka rata- rata garis kemiskinan pada Maret 2018 adalah 401.220 rupiah per kapita per bulan. Marwan menilai penurunan kemiskinan itu relatif. Sebab, apabila menggunakan kriteria kemiskinan Bank Dunia sebesar 2 dollar AS per hari, maka jumlah penduduk miskin akan lebih banyak.

"Dua dollar AS itu berarti sekarang 30 ribu rupiah, atau 900 ribu rupiah per bulan. Sangat jauh dibandingkan garis kemiskinan standar pemerintah. Jadi pada dasarnya orang miskin masih banyak," ungkap dia. Oleh karena itu, Marwan menyatakan sebenarnya kondisi kemiskinan belum membaik.

"Jadi saya bukan mau bilang jelek, memang pada dasarnya jelek. Cuma banyak pencitraan, banyak manipulasi angka. Kita bicara garis kemiskinan standar yang dipakai apa? Kalau dollar semakin parah, itu ya semakin miskin, " jelas dia.

Indikator Ketimpangan

Terkait dengan kesenjangan, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan disparitas hasil pembangunan bisa dilihat dari indikator ketimpangan yang melebar pascareformasi. Rasio gini pada Maret 2018 adalah 0,389. Angka ini turun dari rasio gini setahun lalu, Maret 2017 sebesar 0,391. Namun pada 2000, rasio gini sudah berada di angka 0,31.

"Artinya, jurang antara pengeluaran kelompok paling kaya dan kelompok miskin makin ekstrem. Begitu juga dengan pembangunan yang selama reformasi bersifat Jawa sentris. Hasilnya, 58 persen ekonomi didominasi Pulau Jawa," jelas dia. Oleh karena itu, Marwan mengatakan pemerintah Indonesia boleh saja satu kata soal disparitas pembangunan dengan negara-negara ASEAN.

Namun, dia mengingatkan kepentingan nasional hendaknya tetap dinomorsatukan. "Artinya, kalau mau membangun, ya bangun sendiri sesuai kemampuan dan kebutuhan. Jangan memaksakan diri," jelas Marwan. Dia pun heran, banyak dana yang seharusnya bukan peruntukannya, tapi digunakan untuk membangun infrastruktur.

"Itu namanya memaksakan diri. Padahal, belum terlalu prioritas." Marwan mewanti-wanti, jangan sampai aset negara dijual kepada asing dengan dibalut kata-kata investasi. Artinya, kedaulatan negara seharusnya dipegang kuat. Menurut dia, semua persoalan ini bisa diperbaiki kalau pemerintah mengutamakan kepentingan orang banyak dibanding kelas atas.

ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top