Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Pemerintah Berharap Perbankan Nasional Bisa Bertahan

Pelemahan Kurs Rupiah Ancam Kinerja Perbankan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah yang sudah mencapai lebih dari 12 persen sepanjang tahun ini, dinilai berpotensi menekan kinerja perbankan nasional, terutama akibat meningkatnya kredit macet karena kenaikan bunga kredit. Sebab, untuk menahan laju depresiasi rupiah, Bank Indonesia (BI) diprediksi kembali menaikkan suku bunga acuan, dari posisi 5,75 persen saat ini, untuk mengimbangi kenaikan bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

Ekonom Universitas Ibnu Khaldun, Achmad Iskandar, mengemukakan kenaikan bunga acuan BI (BI-7 Day Reverse Repo Rate) selanjutnya ditransmisikan pada kenaikan bunga kredit perbankan. "Jika bunga kredit naik, risiko kredit macet meningkat dan penyaluran kredit juga terhambat. Akibatnya, kinerja perbankan terganggu," papar dia, di Jakarta, Jumat (5/10).

Padahal, lanjut Iskandar, seiring dengan tren membaiknya ekonomi AS, The Fed kemungkinan besar akan kembali menaikkan bunga acuan, Federal Fund Rate (FFR), sekali lagi pada akhir 2018, tiga kali lagi tahun depan, dan sekali lagi pada 2020. Saat ini, FFR berada di kisaran 2,00-2,25 persen.

Ekspektasi kenaikan bunga AS tersebut terus mendorong penguatan dollar AS pada hampir semua mata uang dunia, termasuk rupiah. Bahkan, kurs rupiah kini terperosok di level terendah sejak krisis 1998. Nilai tukar rupiah di pasar spot, Jumat, ditutup melemah 0,03 persen atau 4 poin menjadi 15.183 per dollar AS.

Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings, juga menyatakan meski perbankan Indonesia memiliki ketahanan yang cukup, namun ke depannya ada risiko jika pelemahan rupiah terus berlanjut, utamanya pada kredit valuta asing.

"Pelemahan nilai tukar rupiah belakangan ini dan meningkatnya suku bunga acuan akan menghambat kinerja perbankan di Indonesia serta berpotensi menurunkan laba," tulis Direktur Fitch, Gary Hanniffy, beberapa waktu lalu. Fitch menambahkan pelemahan lanjutan rupiah bisa menekan kemampuan pembayaran kewajiban debitur yang memiliki utang asing besar dan hedging yang terbatas, sehingga menekan risiko kualitas aset bank yang bersangkutan.

Saat ini, kredit berdenominasi asing menyumbang 15 persen dari total utangnya pada akhir semester I-2018, atau turun dari posisi 2014 sebesar 17 persen serta posisi era 1990-an sebesar 30 persen. Utang asing yang tak di-hedging nilainya hanya setara dengan dua persen dari modal perbankan.

"Namun, angkanya masih tinggi dibandingkan dengan perusahaan sejenis di negara emerging market," ujar Gary. Per semester I-2018, sebagian besar kredit perbankan yang masuk dalam kategori perhatian khusus mencapai 5,2 persen dari total outstanding kredit atau naik dari posisi akhir tahun 2017 sebesar 4,4 persen.

"Ini berisiko menjadi utang bermasalah (non-performing loan/NPL) jika kondisi perekonomian memburuk," kata Gary. Kekhawatiran pada kinerja perbankan juga tecermin pada aksi jual investor asing terhadap kelompok saham perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Akibatnya, sepanjang pekan ini indeks sektor keuangan terkikis 4,1 persen. Bahkan, dalam tahun ini indeks tersebut terpangkas 9,53 persen. (Lihat infografis)

Kredit Properti

Terkait risiko akibat bubble property, Iskandar mengungkapkan ancaman kredit macet dari sektor ini memang nyata. Apalagi, jika berkaca pada krisis keuangan 1997/1998 yang dipicu oleh kredit macet properti. "Karena mereka dulu meminjam ke luar negeri. Jadi, akhirnya utang mereka melambung gara-gara depresiasi tajam rupiah.

Padahal, penerimaan dalam rupiah, tapi harus bayar utang dalam dollar. Jadi secara kesimpulan krisis 1997/1998 itu kontribusi dari sektor properti. Pengusaha propertilah yang bikin negara ini bangkrut. Itu yang nggak tersoroti," tukas Iskandar. Iskandar berharap pemerintah tidak kecolongan lagi karena outstanding kredit properti sudah berkisar 800 triliun-900 triliun rupiah.

Di sisi lain, penilaian harga aset properti sudah melonjak sekitar 500 persen dalam delapan tahun terakhir. Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berharap perbankan nasional bisa bertahan walaupun nilai tukar rupiah terus melemah.

Menurut dia, ada dua indikator yang perlu diperhatikan perbankan agar mereka tetap tahan banting. Indikator pertama, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR). Kedua, rasio kredit bermasalah (NPL). Menkeu berharap dua indikator tersebut bisa terjaga baik.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top