Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Pasien Gangguan Jiwa Miliki Sedikit Bakteri Psikobiotik

Foto : afp
A   A   A   Pengaturan Font

Para peneliti masih terus mempelajari untuk menemukan pengaruh yang jelas antara kesehatan usus yang berpengaruh pada kesehatan mental. Selama ini orang dengan gangguan gastrointestinal memiliki tingkat masalah neuropsikiatri yang lebih tinggi dari rata-rata seperti gangguan bipolar dan depresi.
Sementara itu orang dengan skizofrenia pada darahnya menunjukkan terjadinya peradangan saluran pencernaan (gastrointestinal). Orang dengan gangguan spektrum autisme juga memiliki tingkat masalah pencernaan yang lebih tinggi daripada populasi umum.
"Para peneliti telah mengidentifikasi serangkaian mekanisme potensial untuk menjelaskan pola-pola itu, yang mungkin bekerja secara paralel," papar profesor fisiologi integratif di University of Colorado, Boulder Christopher Lowry, PhD, yang mempelajari mekanisme saraf yang mendasari fisiologi terkait stres dan perilaku emosional seperti dikutip laman The American Psychological Association.
Ia menyatakan, ada saluran pencernaan ke otak di sepanjang saraf vagus, yang membentuk jalan raya langsung dari usus ke batang otak. Melalui saluran itu ada juga bukti, bakteri di usus dapat menghasilkan metabolit yang dapat beredar melalui darah ke otak.
Meski rumit banyak peneliti berusaha memahami bagaimana mikroorganisme psikobiotik dapat berpengaruh baik atau buruk bagi kesehatan mental. Namun sebagian besar bukti pengaruh bakteri psikobiotik terhadap kesehatan kebanyakan baru pada tahap penelitian hewan.
Penelitian pada tikus yang dilakukan Lowry dan rekan-rekannya mempelajari apakah bakteri yang menguntungkan dapat membantu mengurangi patologi terkait stres pada tikus. Mereka menggunakan model mapan untuk memicu stres psikososial dengan menempatkan tikus di koloni dengan tikus agresor dominan.
Biasanya, tikus dalam situasi tersebut menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan mengembangkan kolitis, radang usus besar. Dalam penelitian ini, para peneliti menyuntikkan beberapa bakteri jenis Mycobacterium vaccae ke hewan pengerat itu. Hasilnya bakteri tersebut mengurangi peradangan di seluruh tubuh tikus.
Dalam masa sepekan setelah perawatan, tikus yang diobati menunjukkan tingkat peradangan lebih rendah dibandingkan dengan tikus kelompok kontrol. Dari sisi mental tikus yang diberi perlakuan tersebut menunjukkan perilaku lebih patuh ketika bertemu dengan tikus yang dominan, serta lebih sedikit kecemasan dan ketakutan saat melewati labirin yang memicu stres.
Sementara itu, pengaruh mikroba di usus pada otak manusia yang dapat menciptakan kesehatan juga dilakukan oleh peneliti di Chongqing Medical University di Tiongkok, Peng Xie, MD. Bersama rekannya ia menemukan mikroba usus pasien dengan gangguan depresi mayor berbeda secara signifikan dari kelompok kontrol yang sehat.
Para peneliti mentransplantasikan kotoran dari partisipan manusia ke tikus yang bebas bakteri. Tikus yang menerima transplantasi tinja-mikroba dari orang dengan depresi menunjukkan lebih banyak depresi dan perilaku kecemasan dibandingkan dengan tikus yang menerima transplantasi dari peserta manusia yang sehat.
Sedangkan peneliti dari Institute for Systems Biology di Seattle, Simon Evans, PhD, yang menyelidiki mikrobioma pada orang dengan gangguan bipolar menemukan sampel tinja dari orang-orang dengan dan tanpa gangguan bipolar atau gila.
Ia menemukan tingkat mikroba Faecalibacterium yang lebih rendah pada mereka yang mengalami gangguan bipolar. Tinggi rendahnya kandungan bakteri itu berpengaruh pada kecemasan dan depresi, gangguan tidur.
Dickerson juga menyelidiki mikroba pada orang dengan gangguan bipolar dan penyakit mental serius lainnya. Ia dan tim menemukan di antara orang-orang dengan gangguan bipolar yang dirawat di rumah sakit, ditemukan adanya tingkat peradangan lebih yang perlu perawatan dalam waktu enam bulan.
Hasil temuan tersebut mendorong Dickerson dan rekan-rekannya untuk merancang percobaan untuk menargetkan peradangan itu sebagai upaya menemukan terapi. Langkah yang dilakukan adalah menguji 66 pasien yang dirawat di rumah sakit karena gangguan bipolar.
Setengah dari peserta menerima plasebo, sementara separuh lainnya mengkonsumsi suplemen yang mengandung dua jenis bakteri yang tersedia secara komersial terbukti memiliki sifat antiinflamasi pada manusia dan hewan. Penggunaan bakteri Lactobacillus rhamnosus (strain GG) dan Bifidobacterium animalis lactis (strain BB-12).
Setelah keluar dari rumah sakit, para peserta mengambil suplemen atau plasebo selama 24 pekan, bersama dengan obat-obatan biasa mereka. Selama waktu itu, hanya delapan orang yang menggunakan probiotik yang dirawat di rumah sakit, dibandingkan dengan 24 orang yang menggunakan plasebo.
"Ini adalah area awal penelitian, tetapi ini menarik dalam banyak hal, salah satunya adalah potensi untuk terapi," pungkas Dickerson. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top