Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Impelementasi UU

Pasal Penistaan Agama Ancam Toleransi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Vonis 18 bulan penjara untuk Meiliana yang diputus bersalah karena mempersoalkan suara azan yang keras jadi preseden buruk. Sekaligus membuktikan pasal lenistaan agama dalam KUHP multi tafsir dan dapat mengancam toleransi kebudayaan beragam.

"Kami mencatat rumusan pasal yang karet tentang penistaan agama di Indonesia pada implementasinya menyerang kelompok minoritas, pasal tersebut harus dicabut," kata Anggara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), di Jakarta, Kamis (23/8).

Seperti diketahui, pasal tentang penistaan agama kembali memakan korban. Putusan Pengadilan PN Tanjung Balai pada Selasa 21 Agustus 2016 memutus Meiliana (44 tahun) bersalah dan dihukum 18 bulan penjara atas dakwaan Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama.

"Kami, ICJR sejak lama telah mengkritik masih eksisnya pasal penodaan agama dalam peraturan hukum Indonesia," ujarnya.

Menurut Anggara, pasal - pasal ini dalam implementasinya telah berkembang sedemikian jauh. Sehingga seringkali merugikan kepentingan kelompok minoritas. Dalam catatan ICJR, pasal penistaan agama selalu digunakan dalam konteks terdakwa atau terpidana dianggap menista agama dalam posisi mayoritas.

"Persoalan ini terjadi karena rumusan Pasal 156a KUHP adalah rumusan yang tidak dirumuskan dengan sangat ketat dan karenanya dapat menimbulkan tafsir yang sangat beragam dalam implementasinya," katanya.

Karena itu, ia mengingatkan putusan terhadap Meilana akan berakibat buruk bagi iklim toleransi di masyarakat. Serta merugikan kepentingan kelompok minoritas lainnya yang seharusnya dilindungi. Sebab sudah sangat tegas, kebebasan beragama dijamin oleh UUD 1945. Begitu juga dengan kebebasan berpendapat.

"Salah satu perlindungan beragama ditunjukkan dengan dijaminnya larangan tindakan penghasutan, permusuhan dan kekerasan yang menghasilkan diskriminasi atas dasar kebangsaan, ras atau agama dalam Pasal 20 ayat (2) ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia," tuturnya.

Konteks perlindungan beragama dalam hukum pidana lanjut Anggara harus diluruskan kembali pada perbuatan materil menghasut untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Kerangka hukum tentang penistaan agama harus benarbenar secara ketat membatasi perbuatan yang dapat dipidana, yakni hanya dalam konteks terjadi penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan berdasarkan agama.

ags/AR-3

Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top