Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Publik

Optimalkan Manfaat Layanan Tambahan

Foto : ANTARA/Siti Nurhaliza

Ketua DPP Apindo DKI Jakarta Solihin (dua dari kanan) dalam konferensi pers di Kantor DPP Apindo DKI Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (10/6).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Di akhir-akhir pemerintahannya, Presiden Joko Widodo membuat gaduh dengan melahirkan kebijakan tabungan perumahan rakyat (Tapera). Di mana-mana terjadi penolakan, utamanya dari kalangan buruh yang keberatan. Namun, ternyaya para pengusaha juga keberatan.

DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia DKI Jakarta menyatakan, fasilitas Manfaat Layanan Tambahan (MLT) seharusnya lebih dioptimalkan dibandingkan adanya iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

"Dalam BPJS Ketenagakerjaan dan lain sebagainya, seharusnya MLT ini dimanfaatkan secara optimal jumlahnya dibandingkan ada iuran Tapera," kata Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Solihin, dalam konferensi pers, Senin.

Solihin menyebutkan, selama sosialisasi program Tapera sejak 2016, DPP Apindo Jakarta sudah menyatakan keberatan atas implementasi program tersebut untuk perusahaan swasta. "Karena BPJS Ketenagakerjaan telah menyediakan fasilitas serupa dari MLT dalam program Jaminan Hari Tua. Jadi Tapera ini tumpang-tindih dengan program yang sudah ada sebelumnya," ujar Solihin.

Menurut Wakil Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Eri Wibowo, selain tumpang tindih, program Tapera tidak menjamin pemilikan rumah bagi seluruh pekerja karena terbatas hanya kepada pekerja berpenghasilan rendah.

"Sedangkan perumahan pada MLT BPJS Ketenagakerjaan, berlaku bagi setiap pekerja yang memenuhi persyaratan," kata Eri.

Ketua Federas? Serikat Pekerja Nasional (SPN), Muhammad Andre Nasrullah mengatakan, buruh atau pekerja swasta memiliki potensi PHK yang tinggi seperti buruh kontrak dan buruh informal. Karena itu kesinambungan bekerjanya terbatas, maka mekanisme pencairan dana atau keberlanjutannya menjadi sulit.

"Berbeda dengan PNS, TNI/Polri yang masa kerjanya lebih stabil dan berjangka panjang," ujar Andre. Adapun Ketua FSP Logam, Elektronik dan Metal (LEM) DKI Jakarta, Yusup Suprapto membandingkan pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang melibatkan unsur Pemberi Kerja dan Pekerja sebagai anggota Dewan Pengawas dan Pengawasan Internal oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

"Sedangkan pengelolaan Tapera dilakukan oleh Komite yang tidak melibatkan unsur Pember? Kerja dan Pekerja, karena program ini awalnya memang bagi PNS, TNI dan Polri," kata Yusup.

Sementara itu, serikat buruh yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) menyatakan siap kembali melakukan unjuk rasa secara nasional untuk menolak iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada Kamis (27/6). "Rencananya secara nasional di tanggal 27 Juni 2024, kami pun akan menyampaikan aksi tolak Tapera dan cabut untuk selamanya," kata Perwakilan Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI) Endang Hidayat.

Endang mengatakan, secara nasional, massa yang nantinya ikut turun ke jalan diperkirakan mencapai 10 sampai 20 ribu orang. Sedangkan di Jakarta diperkirakan sampai empat ribu orang yang akan berunjuk rasa di Istana Negara.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top