Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Optimalkan Fungsi Pelabuhan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Siswanto Rusdi

Komunitas kemaritiman bertanya, hendak dibawa ke mana pelabuhan? Ini terkait pembanguan pelabuhan yang masif, khususnya empat tahun terakhir. Pengembangnya mulai dari perusahaan pelat merah bidang kepelabuhanan dengan uang sendiri. Lalu, ada Kementerian Perhubungan yang membangun pelabuhan dengan APBN. Tak ketinggalan, swasta, dari kalangan pelayaran maupun pengusaha umum, juga ikut membangun pelabuhan. Yang terakhir, biasanya lebih sering terminal dengan investasi korporasi ataupun menggandeng mitra.

Jadi, pelabuhan berdiri di banyak tempat yang sejatinya memang diperlukan guna menyediakan pekerjaan perusahaan konstruksi, pemasok bahan bangunan, dan pekerja. Masalahnya, pelabuhan bukanlah bangunan semata. Setelah pembangunan fisik pelabuhan rampung, berikutnya adalah mentransformasi dermaga, terminal, lapangan penumpakan, dan fasilitas fisik lainnya menjadi sebuah entitas bernilai tinggi. Ini pekerjaan tidak gampang.

Banyak contoh pengembangan pelabuhan setelah selesai, sepak terjangnya sebagai entitas ekonomi tidak selesai. Yang terjadi, hampir tidak ada kapal bersandar. Situasi seperti itu bisa disaksikan di pelabuhan Tobelo Halmahera, Maluku Utara. Dua tahun lalu diresmikan Presiden Joko Widodo, kini pelabuhan tersebut sepi. Tak banyak bongkar muat, jika tidak mau dikatakan mati sama sekali. Tobelo adalah satu dari ratusan pelabuhan yang dikelola Kementerian Perhubungan.

Barangkali ada yang mengatakan, "Wajar Pelabuhan Tobelo sepi karena nonkomersial." Sepi kunjungan kapal juga terjadi di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola BUMN kepelabuhan. Akibat sepi kunjungan kapal, operasional tekor sehingga harus disubsidi kantor pusat perusahaan. Di pelabuhan yang dikelola swasta (istilahnya terminal untuk kepentingan sendiri/TUKS) yang memiliki captive market berupa perusahaan-perusahaan dari kelompok usahanya sendiri, juga dibelit nasib sama.

Kondisi TUKS kini makin memprihatinkan karena sudah berubah menjadi fasilitas yang bisa disandari kapal-kapal umum. Hal ini jelas memperbesar potensi pasarnya. Hanya, pada sisi lain mendorong pertarungan menjadi kian sengit dalam bisnis kepelabuhanan.

Persoalan

Liberalisme adalah akar tunjang dari berbagai persoalan yang kini mengharu-biru sektor kepelabuhanan nasional. Pintu masuknya ideologi ini disediakan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Spirit libaralisme bisa dilihat dari dibukanya kesempatan seluas-luasnya kepada swasta untuk mengembangkan pelabuhan. Perlakuan ini kemudian digenapkan dengan sebuah kebijakan pembebasan syarat modal minimal pendirian badan hukum bisnis kepelabuhanan yang diluncurkan dua tahun lalu.

Banyak persoalan yang menggelayuti sektor pelabuhan ini. Di antaranya, permodalan. Kendala permodalan merata pada semua kelompok pengembang pelabuhan (perusahaan pelat merah, Kemhub dan swasta). Modal diperlukan mulai dari pembangunan fisik pelabuhan, membeli peralatan bongkar-muat hingga pemasaran kepada para pengguna jasa. Sayangnya, investasi lama untuk break event point. Tetapi, ada syaratnya, pelabuhan itu harus mampu menarik pelayaran untuk bersandar secara teratur alias reguler. Bila tidak, modal yang ditanam tadi bisa-bisa tenggelam ke palung samudera bisnis pelabuhan.

Pelabuhan nasional juga inefisiensi. Situasi ini biasanya terjadi di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Kemhub atau swasta. Inefisiensi dipicu minimnya alat bongkar-muat, manajemen terminal yang belum profesional dan faktor lainnya. Ada cerita, ketika kapal sandar di sebuah pelabuhan di Indonesia timur, pelayanannya disesuaikan dengan jam kerja standar (masuk pukul 08.00 dan pulang 16.00). Pada kasus program tol laut, kapal-kapal yang dioperasikan harus membawa sendiri peralatan bongkar-muatnya karena di pelabuhan tujuan tidak tersedia.

Yang terakhir ini lebih sebagai konsekuensi persoalan tadi. Pelabuhan di Indonesia mengenakan service charge yang relatif tinggi kepada pengguna jasa. Tingginya cost of money dari investasi untuk membangun pelabuhan, khususnya yang dikelola BUMN kepelabuhanan dan swasta, menjadi salah satu penyebabnya. Di sini, dapat pula ditambahkan, pengenaan pajak berlapis-lapis dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai penyebab lainnya.

Pengembangan pelabuhan/terminal yang dilakukan ketiga pemain: Kemhub, BUMN kepelabuhanan, dan swasta mendorong kekhawatiran kelebihan pasokan pelabuhan. Dalam program tol laut, ada rencana pengembangan 24 pelabuhan. Satu per satu dari rencana ini mulai selesai tahap pembangunan fisiknya. BUMN kepelabuhanan pun membangun pelabuhan baru di beberapa titik di seluruh Nusantara.

Pengembang pelabuhan swasta pun melakukan hal sama. Kendati baru sekadar mengantongi surat izin sebagai badan usaha pelabuhan (BUP) alias paper company, begitu mereka dapat investor untuk rencana pembangunan yang sudah disusun. Maka, kapasitas terpasang pelabuhan nasional akan makin besar. Inilah yang menjadi argumen utama tesis oversupply pelabuhan. Sebagai negara kepulauan terbesar dunia tesis kelebihan pasokan pelabuhan/terminal dengan mudah dipatahkan sebagian pihak. Bagi mereka kondisi geografis Indonesia membutuhkan sebanyak mungkin pelabuhan. Berapa pun yang akan dibangun tidak akan cukup untuk menjahit pulau-pulau.

Baca Juga :
Bonus Thomas Cup

Perbedaan sudut pandang tadi (oversupply vs undersupply) berawal dari tidak samanya makna konsep pelabuhan/terminal di kalangan masyarakat. Satu pihak beranggapan pelabuhan itu tak lain tak bukan adalah dermaga. Sementara itu, pihak yang lain melihat pelabuhan lebih luas dari sekitar dermaga dan fasilitas pendukungnya. Sebetulnya, masalah ini bisa diselesaikan dengan merujuk kepada aturan perundang-undangan. Sayangnya, pelaksanaan aturan di lapangan oleh pemerintah membuat garis demarkasi menjadi kabur. Hendak dibawa ke mana pelabuhan?

Penulis meminati isu kepelabuhanan

Komentar

Komentar
()

Top