Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Oknum Elit dan Politisi Diduga Ikut Sebar Hoaks

Foto : dok. pribadi
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Informasi hoaks atau berita bohong ditengarai diciptakan oleh elit dan oknum politisi untuk kepentingan menghancurkan lawan politik dan meraih kekuasaan. Cara-cara seperti ini harus dihentikan karena akan menciptakan kegaduhan yang memicu kerusuhan sosial.
"Biasanya Hoaks itu ramai dan bertebaran jelang pesta demokrasi seperti Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Semua unsur politik dan semua tim kandidat presiden kampanye melalui media sosial. Meski terkadang ada beberapa yang menyebar hoaks," kata Pemimpin Redaksi Harian Terbit Ali Akbar Soleman Batubata saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema "Perangi Hoaks Menuju Pilpres yang Damai dan Bermartabat" yang digelar Kaukus Muda Indonesia (KMI) dan SMCE (Social Media Civil Education) di Jakarta, Selasa (27/11).
Menurut mantan aktivis 80-an ini, hoaks politik bisa dihentikan oleh pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam Pilpres 2019. Tim sukses dua pasangan harus bisa menjamin pendukung dan simpatisannya tidak ikutan menyebar berita hoaks.
"Saya sependapat dengan Ketua KPU Arief Budiman yang menyatakan, penangkalan informasi bohong harus dimulai dari tim kampanye capres-cawapres. Jadi, saya meminta capres dan cawapres harus memberi sanksi kepada anggotanya yag turut sebar hoaks," katanya.
Selain itu, ujar pendiri Yayasan Pijar ini, untuk menghentikan hoaks, capres - cawapres harus membuat tim yang fungsinya mengawasi dan memberi sanksi kepada anggotanya yang menyebar hoaks.
Ali juga menyebut, para elit dan politisi meraih keuntungan dari berita hoaks. Contohnya berita harga kebutuhan pokok di pasar. Ada capres membantah kenaikan harga kebutuhan pokok di pasar, sementara ada cawapres menyebut kenaikan harga kebutuhan pokok adalah nyata.
"Emak - emak kebanyakan menyatakan memang ada kenaikan kebutuhan pokok di pasar. Dan saya percaya emak-emak karena mereka ada yang menyampaikan kepada saya. Lalu siapa sebenarnya yang hoaks? Bingungkan?" jelas alumni Universitas Nasional ini.
Lebih lanjut Sekretaris Dewan Penasihat Pusat Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia ini mengatakan, berita hoaks menjadi momok yang menakutkan ditengah-tengah pesta demokrasi yang akan segera dimulai. Hoaks terbagi dua. Pertama, penyebaran berita palsu alias hoaks yang berpotensi mengadu-domba masyarakat. Kedua, saling serang dan fitnah antara sesama calon dan pendukung.
"Itulah sebabnya, para kontestan harus lebih arif dalam bersikap, sehingga menciptakan Pilpres yang damai dan bermartaba," papar Ali.
Ali juga mengemukakan, korban dari hoaks juga tidak hanya rakyat bawah, juga para petinggi negeri ini. Dia menuturkan, media harus cerdas dalam menayangkan berita-berita ke masyarakat. Harus memilah mana berita yang layak konsumsi mana berita yang tidak layak, jangan hanya gara-gara kejar rating dan keberpihakannya, maka semua berita-berita diturunkan yang ujungnya akan menciptakan ketidakstabilan situasi politik di masyarakat.
"Saya yakin jika hoaks tidak akan bisa hidup di kalangan media kalau mereka mengikuti kode etik jurnalistik dan professional dalam bekerja," tegasnya.
Untuk Kepentingan
Sementara itu, Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB), Rahmat Himran juga mengakui, penyebaran hoaks dilakukan oleh elit dan politisi untuk kepentingannya. Tidak heran mereka mempunyai tim untuk menyebarkan meme yang menyudutkan pihak lawan. Sehingga masyarakat mempercayai penyebaran hoaks karena dilakukan secara struktur dan sistematis. Oleh karenanya hoaks merupakan monster yang menakutkan.
"Karena tidak hanya masyarakat biasa, tokoh politik pun bisa menjadi korban dari hoaks," paparnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo mengatakan, informasi dari media sosial jangan terlalu dipercaya. Tapi ditertawakan saja. Karena jika santai memhadapi hoaks maka penyebar hoaks tersebut akan gagal karena tidak bisa mempengaruhi lagi. Media massa untuk tidak menjadi korban hoaks juga tidak menjadikan informasi di media sosial sebagai rujukan.
"Sekali - kali boleh tapi jangan dijadikan sesuatu yang utama dalam jurnalis. Kalau itu dilakukan maka apa bedanya dengan medsos. Silakan baca hoaks tapi jangan dikembangkan lagi," paparnya. Ant

Komentar

Komentar
()

Top