Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Proyeksi Ekonomi I Asia Menjadi Mesin Pertumbuhan Utama pada 2023 dan 2024

OECD Proyeksikan Ekonomi Global Bakal Merosot Tajam

Foto : ISTIMEWA

YOHANES B SUHARTOKO Pengamat Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya - Saat ini, saat terbaik untuk inward looking, bagaimana ekonomi domestik benar-benar bisa menjadi penopang ekonomi nasional, bahkan penyelamat pertumbuhan secara global.

A   A   A   Pengaturan Font

» Pertumbuhan tahunan di kawasan Euro diproyeksikan menjadi 0,5 persen pada 2023.

» Ekonomi domestik harus menjadi penopang ekonomi nasional bahkan penyelamat global.

JAKARTA - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam laporan bertajuk Prospek Ekonomi terbaru yang dipublikasikan pada Selasa (22/11) menyebutkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global diproyeksikan akan merosot tajam dari 3,1 persen pada tahun ini menjadi 2,2 persen pada 2023.

Angka pada 2022 itu sekitar separuh dari laju yang tercatat pada 2021 selama masa pemulihan dari pandemi Covid-19, dan tingkat pertumbuhan yang diproyeksikan untuk 2023 jauh di bawah perkiraan sebelum seiring dengan meletusnya konflik Russia-Ukraina.

"Asia akan menjadi mesin pertumbuhan utama pada 2023 dan 2024, sementara Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan akan mengalami pertumbuhan yang sangat rendah," kata OECD dalam keterangannya.

"Tertahan oleh tingginya harga energi dan pangan, kepercayaan yang lemah, berlanjutnya kemacetan pasokan, dan dampak awal dari kebijakan moneter yang lebih ketat, pertumbuhan tahunan di kawasan Euro diproyeksikan jadi 0,5 persen pada 2023," jelas organisasi tersebut.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan hanya akan tumbuh 0,5 persen pada 2023, dibandingkan dengan 1,8 persen pada 2022. Pasar energi juga tetap berada di antara risiko penurunan yang signifikan.

"Eropa telah menempuh perjalanan panjang untuk mengisi kembali cadangan gas alamnya dan mengekang permintaan, namun musim dingin di Belahan Bumi Utara pada tahun ini pasti akan menantang," menurut OECD, seraya menambahkan bahwa harga gas yang lebih tinggi atau gangguan pasokan gas langsung akan menyebabkan pertumbuhan yang jauh lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi di Eropa dan dunia pada 2023 dan 2024.

"Dengan mempercepat investasi dalam pengadopsian dan pengembangan teknologi dan sumber-sumber energi bersih akan sangat penting untuk mendiversifikasi pasokan energi dan memastikan ketahanan energi," kata OECD seperti dikutip Antara dari kantor berita Xinhua.

Stagflasi di AS

Menanggapi proyeksi OECD itu, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan sejak dulu Asia memiliki peran setara dengan Eropa dan Amerika terutama dengan kekuatan tiga negara di Asia Timur, yakni Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.

Sementara pada tahun-tahun ini, Asia mendapat beban lebih banyak untuk menopang pertumbuhan dunia karena stagflasi di Amerika dan Eropa.

"Jadi, saya sepakat kalau Asia terutama justru bukan tiga negara besar yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memiliki potensi tumbuh yang akan menopang pertumbuhan dunia. Dengan pasar domestik yang besar dan permintaan yang begitu tinggi, Asia memang jadi masa depan ekonomi dunia," kata Susilo.

Sebagai catatan, Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya hari-hari ini menghadapi sedikit gejolak di industri tekstil dan alas kaki di mana permintaan dunia turun drastis sehingga sudah mulai terjadi pemutusan hubungan kerja.

"Namun karena permintaan domestik masih kuat, hal itu saya kira masih bisa diselamatkan. Tanda-tanda krisis di Indonesia misalnya, kan tidak ada. Mal ramai, wisata ramai, pasar ramai. Momentum pertumbuhan domestik ini yang harus dijaga," kata Susilo.

Saat ini, menurut Susilo, saat terbaik untuk inward looking yakni bagaimana ekonomi domestik benar-benar bisa menjadi penopang ekonomi nasional, bahkan penyelamat pertumbuhan secara global.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan dari sisi ekonomi, pada 2022 dan 2023 ditandai dengan kondisi ketidakpastian yang tinggi.

Salah satu penyebab ketidakpastian adalah laju pemulihan ekonomi yang tidak berbarengan, menyebabkan preferensi pilihan kebijakan ekonomi negara maju adalah pro stabilisasi yang didukung kebijakan moneter yang kontraktif dengan menaikkan suku bunga acuan mereka, sehingga menyebabkan pelemahan mata uang negara sedang berkembang.

Pemulihan yang tidak berbarengan itu merupakan pelajaran bagi pemimpin dunia untuk kerja sama dalam ekonomi makro. Tujuannya untuk mengurangi frekuensi gejolak ekonomi dunia sehingga mendorong terjadinya kestabilan ekonomi paling tidak dari sisi ekonomi makro.

"Pertanyaannya, siapa penjaga komitmen tersebut, Jika sekadar komitmen maka ekonomi domestik sering kali diprioritaskan daripada ekonomi global," pungkas Suhartoko.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top