Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Odekta Ratu Maraton Asia Tenggara

Foto : ISTIMEWA

odekta Elvina Naibaho

A   A   A   Pengaturan Font

PHNOM PENH - Dua kali menjadi peraih emas SEA Games berturut-turut (Vietnam dan Kamboja), pantas bila pelari Odekta Elvina Naibaho disebut ratu marathon Asia Tenggara. Sadar akan menjadi sorotan kamera, Odekta meminta waktu sejenak untuk merias wajahnya ketika diingatkan sang manajer agar bersiap-siap mengikuti upacara pengalungan medali.

Sang juara dua kali berturut-turut maraton SEA Games itu pun membuka kotak berisi cat wajah beraneka warna. Dengan santai telunjuknya mencolek cat berwarna merah lalu dia oleskan ke dahinya. Setelah itu, giliran jari tengahnya mencolek cat berwarna putih lalu dioleskan tepat di bawah cat merah yang menggores di dahinya sehingga membentuk dua garis merah putih.

Dia mengulang beberapa kali tapi lokasi goresan berpindah ke pipi, dagu, hingga hidung. Wajah manis dara batak itu pun berubah menjadi penuh coretan berwarna merah-putih. Odekta memang tidak sedang bersolek lumrahnya perempuan yang akan ke pesta atau kencan. Dia bersolek sebagai atlet juara untuk menegaskan diri bahwa dia beridentitas merah putih, warna bendera negaranya, Indonesia.

"Biar nyentrik dan ini sebagai pernyataan saya bahwa saya berlari di tengah terik adalah untuk Merah Putih," kata Odekta. Polah iseng Odekta mencoret-coret wajahnya dengan cat merah-putih bisa jadi dilihat sebagai kenyentrikan semata. Namun, coretan merah putih itu adalah jawaban mengapa dia begitu kukuh berjuang berlari sejauh 42,195 km di bawah sengatan 39 derajat matahari Angkor Wat hingga pingsan seusai melewati pita finis.

Odekta menyadari bahwa dia berlari bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk merah putih, simbol dari negaranya. Ini yang membuat ia tabah melawan lelah. Odekta dan para atlet lain hadir di SEA Games tentu untuk berkompetisi menjadi yang terbaik di cabang olahraga masing-masing. Bukan demi kebanggaan sang atlet semata, tetapi juga menjaga reputasi lambang negara di dada mereka. Kemenangan atau menjadi juara adalah idaman, karena dengan itu mereka akan menjadi musabab lagu kebangsaan Indonesia berkumandang dan bendera Merah Putih berkibar.

Diplomat

Para atlet yang bertanding di luar negeri seperti di ajang multievent SEA Games tidak sekadar bertanding untuk dirinya, tetapi mereka juga membawa nama baik negara di pundak mereka. Di posisi ini, tugas atlet bukan semata-mata bertanding atau berlomba, melainkan juga sebagai diplomat yang mewakili negara sebagaimana para diplomat yang bernegosiasi di forum internasional seperti di KTT Asean di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 10-11 Mei 2023.

Tugas utama atlet di ajang internasional seperti SEA Games yang saat ini tengah berlangsung di Kamboja adalah bertanding dan berlomba, tetapi ketika ada label "mewakili negara" maka atlet pun mempunyai tugas lain sebagai "diplomat paruh waktu."

Ketika atlet dapat tampil sangat baik dalam turnamen olahraga, itu menjadi sumber kebanggaan dan martabat bagi negara yang mereka wakili. Para atlet Indonesia yang menjadi juara tentu bukan hanya mendapat medali untuk dirinya tetapi juga menjadi simbol kedigjayaan negerinya. Apalagi sejauh ini hanya ada dua peristiwa yang bisa mengibarkan bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di luar negeri, yakni kunjungan kenegaraan kepala negara, serta atlet yang memenangi kejuaraan.

Dalam SEA Games ke-32 yang tengah berlangsung di Kamboja, tugas atlet sebagai "diplomat paruh waktu" bukanlah pengecualian. Melalui gelaran multi cabang olahraga yang dibuka 5 Mei dan ditutup 17 Mei ini, sebanyak 11 negara Asia Tenggara (Indonesia, Brunei Darussalam, Timor Leste, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Kamboja) pun saling berdiplomasi untuk menunjukkan pencapaian masing-masing melalui berbagai cabang kompetisi.

Indonesia yang saat ini menjadi ketua Asean pun tentu tak ingin melewatkan perhelatan olahraga ini demi menegaskan sebagai pemegang simbol atau representasi "kebesaran" dan "kepemimpinan" di kawasan ini, selain tentu saja menjadikan ajang sport ini sebagai panggung untuk mengkomunikasikan pencapaian nasional kepada kawasan dan dunia.

Ada semacam pride(kebanggaan) di sini dan demi itu, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo serta jajaran para pengambil keputusan pun merevisi jumlah kontingen Merah Putih dengan menambahkan 100 atlet.

Dengan demikian, jumlah kontingen Indonesia yang hadir di Kamboja menjadi 599 atlet yang terdiri dari 379 atlet putra dan 220 atlet putri untuk bersaing pada 31 cabang olahraga. Jumlah tersebut lebih gemuk bila dibandingkan dengan SEA Games edisi sebelumnya yang bergulir di Vietnam dengan 499 atlet.

Sekilas, kebijakan pengiriman atlet Indonesia ke SEA Games Kamboja ini berbeda dengan pendekatan pada SEA Games 2021 Vietnam. Ketika itu Indonesia menekankan sisi kualitas dengan memangkas jumlah kontingen menjadi 476 atlet saja, atau hampir separuh dari 837 atlet yang diturunkan Indonesia dalam SEA Games 2019 di Filipina.

Kuantitas atlet pada SEA Games 2023 memang bertambah, tapi tidak dengan target. Kontingen Merah Putih mencanangkan pencapaian yang sama dengan di Vietnam yakni masuk tiga besar klasemen perolehan medali. Bahkan secara angka, target medali emas pada SEA Games 2023 hanya 60, lebih sedikit dibandingkan dengan pencapaian 69 emas Indonesia pada SEA Games 2021. Pengurangan target tersebut terkait dengan potensi kehilangan 39 emas mengingat cabang pendulang medali Merah Putih dalam SEA Games edisi sebelumnya tidak dipertandingkan

Tentu ada argumentasi yang berterima dari penggemukan jumlah kontingen tanpa penambahan target tersebut. Dito mengatakan jumlah atlet bertambah untuk menyiasati potensi emas yang hilang dan di Kamboja cabang olahraga beregu yang tentu butuh banyak atlet lebih banyak dipertandingkan daripada perseorangan.

Dari 31 cabang yang diikuti Indonesia, hoki menjadi cabang dengan jumlah atlet terbanyak yang dikirim yakni 38 (26 atlet putra dan 12 putri), diikuti bola voli (indoor dan pantai) dengan jumlah 34 atlet (18 putra dan 16 putri), serta traditional boat race dan kriket masing-masing mengirim 30 atlet.

Terlepas dari masalah efisien atau efektif, upaya Menpora dan para pengambil keputusan menambah jumlah atlet yang dikirim adalah bukti bahwa Indonesia tetap melihat SEA Games sebagai sesuatu yang penting dan mungkin secara tidak langsung menunjukkan juga bahwa kuantitas kontingen sesuai dengan kapabilitas nasional karena dalam banyak parameter (luas wilayah, jumlah penduduk, Gross domestic produc/GDP), Indonesia lebih besar dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Thailand yang mendominasi sepuluh SEA Games.

Ajang olahraga seperti SEA Games hakikatnya tetap lah kompetisi. Berpacu dalam mengumpulkan medali tentu merupakan tugas utama atlet dan dalam diplomasi pencitraan negara pun. Berkalung medali emas adalah puncak tertinggi karena di situlah menjadi musabab bendera Merah Putih berkibar dan Indonesia raya berkumandang.

Juara dan berkalung medali emas tentu jadi idaman para atlet yang bertanding di SEA Games, tetapi sebagai "diplomat paruh waktu" menjadi juara bukanlah satu-satunya cara berdiplomasi untuk membawa citra baik negara. Apalagi jika dilihat dalam catatan histori seperti ditulis Simon Creak dalam From Bangkok to Palembang: The Southeast Asian Games and a cultural approach to studying regionalism, bahwa motifawal diadakannya kegiatan sejenis olimpiade di regional Asia Tenggara ini adalahuntuk mempererat kerja sama, pemahaman, dan hubungan antar negara di kawasan semenanjung Asia Tenggara.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa SEA Games juga dapat dijadikan sebagai aset soft power diplomasi bagi negara-negara pesertanya dan para atlet adalah diplomat-diplomat yang bertugas melakukan diplomasi tersebut. Konsep terbaru yang berasal dari soft power dikenal sebagai branding bangsa. Nation branding bertujuan untuk mengukur, membangun, dan mengelola reputasi negara menggunakan sarana soft power seperti diplomasi publik dan budaya.

Melalui ajang olahraga seperti SEA Games para atlet Indonesia melakukan diplomasi budaya untuk mengelola reputasi Indonesia. Para juara dengan sendirinya menjadi ujung tombak diplomasi budaya di ajang olahraga. Namun para atlet lain yang tidak menjadi juara pun tetap lah memiliki tanggung jawab sebagai "diplomat paruh waktu". Olahraga terlalu luas untuk didefinisikan sebagai kalah menang. Para atlet yang tidak juara pun tetap bisa membangun citra negeri lewat perilaku-perilaku luhur berbasis "sportivitas".


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top