Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Alokasi Subsidi Energi Melonjak Jadi Rp502 Triliun

Obligasi Rekap BLBI Terus Membobol APBN

Foto : ISTIMEWA

SALAMUDDIN DAENG Peneliti AEPI - Nilai totalnya lima kali APBN 1998 atau setara dengan 15.000 triliun rupiah pada hari ini karena APBN kita hari ini hampir 3.000 triliun rupiah.

A   A   A   Pengaturan Font

» Depresiasi kurs rupiah menyebabkan beban utang dan subsidi energi melonjak drastis.

» Kalau belum bisa dihentikan, minimal pemerintah moratorium bunga obligasi rekap.

JAKARTA - Nilai tukar rupiah nyaris tembus ke level 15.000 rupiah per dollar Amerika Serikat (AS). Depresiasi rupiah tersebut bakal membebani keuangan negara, terutama untuk membiayai impor dan kewajiban membayar utang luar negeri dalam valuta asing (valas).

Selain beban tambahan pembayaran utang valas karena selisih kurs (depresiasi), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga terbebani oleh kenaikan harga subsidi energi, baik bahan bakar minyak (BBM) maupun gas. Akibat faktor geopolitik, harga minyak dunia melonjak signifikan sehingga alokasi subsidi energi di APBN melonjak drastis dari semula ditargetkan 152,2 triliun rupiah menjadi 502 triliun rupiah.

Kenaikan beban bunga utang dan lonjakan subsidi energi hingga 349,8 triliun rupiah itu menyebabkan ruang untuk membiayai program pemulihan ekonomi semakin terbatas.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, yang diminta pendapatnya mengatakan pada saat ini cash flow pemerintah sangat terbatas karena utang yang meningkat, sementara penerimaan negara tidak bertambah.

Meski berulang kali Menteri Keuangan mengeklaim penerimaan negara meningkat, namun jika dilihat lebih dalam, tambahan itu karena angka yang muncul dari penundaan penerimaan negara pada 2020 dan 2021. Saat itu, negara menunda kewajiban pajak banyak pengusaha.

"Seluruh dunia menghadapi dua tekanan hebat yakni inflasi tinggi, tapi di sisi lain pertumbuhan juga stagnan (Stagflasi). Pemerintah dipaksa menambah pengeluaran untuk biaya jaminan sosial agar penduduk kelas menengah bawah terjaga daya belinya. Padahal seperti yang dibilang di awal, cash flow pemerintah sudah sangat ketat," katanya.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah tidak punya banyak pilihan selain menghentikan pengeluaran yang tidak perlu, apalagi pengeluaran yang mengkhianati rakyat. Pembayaran subsidi bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu contoh khianat. BLBI maupun obligasi rekap itu kudeta terhadap keuangan negara, kok sampai sekarang terus dilindungi, ini mengerikan. Kalau belum berani hentikan, minimal moratorium dulu bunganya beberapa tahun," kata Salamuddin.

Dengan total pengeluaran lebih dari 600 triliun rupiah pada 1998-1999, baik berupa uang cash yang disalurkan pada bank penerima BLBI maupun dalam bentuk penempatan obligasi rekap sebagai akal-akalan akuntansi seolah-olah pemerintah berutang kepada bank penerima rekap agar standar kecukupan modalnya terpenuhi, pemerintah sampai hari ini harus terus membayar bunga rekap dan menderita kerugian karena BLBI tidak dibayar oleh konglomerat pemilik bank.

Kudeta Keuangan

Dia meminta semua masyarakat menghitung berapa kerugian negara dari 1998 hingga saat ini akibat ulah apa yang dia sebut sebagai kudeta keuangan negara yang "didirigeni" oleh IMF, Bank Dunia, konglomerat pemilik bank, dan pengambil keputusan keuangan saat itu.

"Ingat, APBN pada 1998 itu jumlahnya 147 triliun rupiah, tapi keluarkan cash senilai APBN ditambah 400-an triliun rupiah lebih dalam bentuk surat utang, seolah-olah negara berutang pada bank. Ini nilai totalnya lima kali APBN 1998 atau setara dengan 15.000 triliun rupiah pada hari ini karena APBN kita hari ini hampir 3.000 triliun rupiah. Apa tidak kudeta keuangan namanya?" kata Salamuddin.

Menurut Salamuddin, tidak ada cara lain, kecuali menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI itu sekarang dan mekanismenya harus memakai segala cara yang mungkin baik prosedur pidana maupun perdata nasional. Selain itu, juga bisa menggunakan perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) untuk menyita hasil kejahatan keuangan lewat pengadilan di negara tempat pelarian.

"Dunia internasional akan membantu Indonesia menyelesaikan kasus ini. Kalau tidak, ini akan jadi bom waktu yang suatu hari akan meledak," kata Salamuddin.

Sementara itu, pakar hukum perbankan dari Universitas Airlangga, Surabaya, Nurwahjuni, mengatakan terkait piutang negara BLBI, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menagih para obligor adalah dengan meminta penetapan pengadilan terhadap aset-aset yang punya nilai historis sebagai jaminan BLBI.

"Pengadilan pun harus hati-hati agar tidak bermasalah di kemudian hari," kata Nurwahjuni.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top